1.
Pendahuluan
1.1
Latar
Belakang
Peranan
kurikulum dalam pembelajaran tidak dapat terlepas dari hubungan antara dua
aspek, yakni kurikulum dan pembelajaran. Peranan tersebut memiliki implikasi
dalam perkembangan pendidikan secara umum dan khusus. Melalui berbagai
implikasi yang dihasilkan, bermunculan pula serangkaian model pengembangan yang
disarankan sebagai peningkat keberhasilan mutu pendidikan.
Model
pengembangan kurikulum dan pembelajaran muncul dari adanya keterkaitan yang
relatif menurut beberapa ahli. Dengan berbagai teori yang dikemukakan, pengaruh
kurikulum dan pembelajaran berdampak sangat relatif berdasarkan teori yang
digunakan. Meskipun demikian, terdapat benang merah antara kurikulum dan
pembelajaran dalam model manapun, karena pada hakikatnya kedua aspek tersebut
tidak terpisahkan.
Berdasarkan
pernyataan diatas, urgensi pengetahuan tentang model pengembangan kurikulum dan
pembelajaran sangat tinggi terutama pada pelaku pendidikan mulai dari pejabat
pembuat kurikulum hingga tenaga pengajar dan peserta didik. Oleh karena itu,
makalah dengan judul “Model Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran” ini
diharapkan mampu menjadi reverensi tambahan dalam kajian telaah kurikulum ke
depan bagi dunia pendidikan.
1.2
Rumusan
Masalah
Makalah
ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut.
1) Apa saja peranan kurikulum dalam pembelajaran?
2) Model
pengembangan kurikulum apa saja yang dapat diterapkan?
1.3
Tujuan
Tujuan
makalah ini sebagai berikut.
1) Menjelaskan peranan kurikulum dalam pembelajaran
2) Menjelaskan model pengembangan kurikulum yang
dapat diterapkan
2. Pembahasan
2.1 Peranan Kurikulum dalam Pembelajaran
Kurikulum merupakan suatu program pendidikan yang telah direncanakan untuk
mengemban peranan bagi pendidikan siswa. Berdasarkan analisa dari sifat
masyarakat dan kebudayaan, sekolah bagi institusi sosial dalam melaksanakan
operasinya, paling tidak akan menjalankan 3 peranan kurikulum yang dinilai
sangat penting, yakni: (1) peranan konservatif, (2) peranan kritis dan
evaluatif, (3) peranan kreatif.
Peranan Konservatif berkaitan dengan
salah satu tanggungjawab kurikulum, yaitu mentransmisikan dan menafsirkan
warisan sosial kepada generasi berikutnya
(tirtaraharja,1994). Sekolah sebagai
suatu lembaga sosial dapat mempengaruhi dan membina tingkah laku para siswa
sesuai dengan nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat, sejalan dengan
peranan pendidikan sebagai suatu proses sosial. Karena pendidikan hakekatnya
berfungsi menjembatani antara para siswa selaku anak didik dengan orang dewasa
dalam suatu proses pemberdayaan yang semakin berkembang menjadi lebih kompleks.
Peranan kritis dan evaluatif berkaitan dengan situasi kebudayaan senantiasa berubah dan bertambah. Karena itu sekolah tidak hanya mewariskan kebudayaan yang ada, melainkan juga menilai, memilih unsur-unsur kebudayaan yang akan diwariskan. Kurikulum turut aktif berpartisipasi sebagai kontrol sosial yang menekankan pada unsur berpikir kritis.
Peranan kritis dan evaluatif berkaitan dengan situasi kebudayaan senantiasa berubah dan bertambah. Karena itu sekolah tidak hanya mewariskan kebudayaan yang ada, melainkan juga menilai, memilih unsur-unsur kebudayaan yang akan diwariskan. Kurikulum turut aktif berpartisipasi sebagai kontrol sosial yang menekankan pada unsur berpikir kritis.
Peranan kreatif berkaitan dengan
eksistensi kurikulum melakukan kegiatan-kegiatan senantiasa dapat menciptakan
dan menyusun sesuatu yang baru sesuai dengan kebutuhan masa sekarang maupun
yang akan datang didalam lingkungan masyarakat.
Ketiganya
harus berjalan seimbang dalam arti terdapat keharmonisan di antara ketiganya.
Maka kurikulum akan dapat memenuhi tuntutan waktu dan keadaan dalam membawa
siswa menuju pada budaya masa depan.
1)
Kurikulum dan
Pembelajaran
Mac Donald (1965)
memandang persekolahan sebagai sebuah sistem (sistem persekolahan) yang
terbentuk dari empat sub-sistem, yaitu belajar, mengajar, pembelajaran, dan
kurikulum.
Subsistem belajar merupakan proses yang dialami
anak didik sebagai hasil terhadap kegiatan mengajar yang dilakukan guru. Mengajar sendiri merupakan upaya guru
menciptakan suatu lingkungan yang kondusif untuk terjadinya proses belajar pada
diri anak didik. Pembelajaran sebagai
subsistem dari keseluruhan pertautan kegiatan yang memungkinkan terjadinya
interaksi belajar mengajar. Kurikulum merupakan
rencana tertulis yang menjadi pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran.
Pembelajaran dan
kurikulum merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan. Mereka secara konseptual
memang berbeda tetapi eksistensinya hampir selalu dalam pertautan dimana yang
satu tidak mungkin dipisahkan dari yang lain. Karena itu pembelajaran tidak
akan efektif tanpa kurikulum dan kurikulum tidak akan bermakna tanpa
pembelajaran.
Kurikulum dan
pembelajaran adalah dua hal yang saling berhubungan, saling ketergantungan
meskipun keduanya mempunyai posisi yang berbeda. Dalam bukunya Developing the Curriculum dalam Efendi tahun 2009, Peter F. Olive menggambarkan hubungan antara kurikulum
dengan pembelajaran.
(1.) Model
Dualistic.
Model
dualistic dari suatu kurikulum adalah keadaan dimana kurikulum dan pembelajaran adalah
dua sistem terpisah, tidak bertemu.
Perencanaan dan pelaksanaan tidak serasi dan tidak sejalan. Sehingga tidak ada
korelasi yang mengaitkan kedua hal tersebut. Hubungan dapat digambarkan sebagai
berikut :
![]() |
![]() |
(2.) Model
Berkaitan
Pada
model berkaitan, terdapat hubungan antara
kurikulum dan pembelajaran. Di dalam keterkaitan
tersebut, ada bagian essensial yang
terpadu. Model kaitan tersebut dapat divisualisasikan sebagai berikut :
![]() |
(3.) Model
Konsentris
Dalam Model Konsentris, kurikulum dan pembelajaran berhubungan
dengan kemungkinan bahwa kurikulum dapat berada dalam ruang lingkup pembelajaran
atau sebaliknya, dimana pembelajaran dapat pula berada dalam ruang lingkup
kurikulum. Keterlibatan ini terjadi jika salah satu unsur merupakan
subsistem dengan yang lain atau salah satu bergantung dengan yang lain. Model
konsentris tersebut dapat divisualisasikan sebagai berikut :
![]() |
![]() |
(4.) Model Sirkuit
Dari
keempat model yang dijelaskan oleh Peter F. Olive, Model Sirkuit adalah model
kurikulum yang paling erat korelasinya dengan pembelajaran. Tidak hanya sekedar
terkait atau menyinggung salah satu aspek, namun model ini menunjukkan hubungan timbal balik antara
kurikulum dan pembelajaran. Keduanya saling berpengaruh. Kurikulum
berfungsi memberikan keputusan tentang pembelajaran,
sebaliknya keputusan tentang pembelajaran akan mempengaruhi peningkatan
kurikulum (sesudah dievaluasi).
![]() |
|||||||
![]() |
|||||||
![]() |
|||||||
![]() |
Berdasarkan keempat
model yang menyatakan hubungan antara kurikulumn dengan pembelajaran diatas,
dapat diambil kesimpulan bahwa kurikulum dan pembelajaran memiliki hubungan
yang erat, tiap aspeknya saling mempengaruhi perkembangan masing-masing, serupa
tapi tak sama, meskipun keduanya dapat dianalisis secara terpisah, namun fungsinya tidak dapat dipisahkan.
2.2 Model Pengembangan
Kurikulum
Kurikulum sebagai perangkat yang digunakan untuk
mengembangkan kemampuan anak secara paripurna, khususnya kemampuan memecahkan
permasalahan yang dihadapi sehari-hari perlu dipikirkan pengalaman apa yang
diperlukan oleh siswa untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan
mempertimbangkan produk yang hendak dicapai, maka dimensi pengembangannya harus
mengikuti pola the how bukan the what, yaitu bagaimana muatan yang disusun
dalam rancangan pendidikan itu mampu merangkum pengalaman siswa untuk mencapai
otonomi intelektuanya, sehingga memberikan kemampuan untuk berpikir secara
mandiri dalam memecahkan persoalan baru yang belum pernah diperoleh di sekolah.
Menyimak urgensinya, maka para
pengembang kurikulum dalam menyususn kurikulum memperhatikan dua faktor, yaitu
kompetensi terminal dan relevansi dengan dunia kerja. Kompetensi terminal yang
dimaksudkan, kompetensi untuk mencapai tujuan pendidikan melalui semua
aktivitas dan pemgnalaman belajar sehingga peserta dapat mengembangangkan
potensi lewat pengetahuan dan ketrampilan yang diajarkan di sekolah. Relevansi
dengan dunia kerja dimaksudkan, apa yang dipelajari dibangku sekolah sesuai
dengan jenis lapangan kerja yang dicita-citakan serta selaras dengan bakat dan
kemampuannya.
Sebagai rancangan pendidikan, kurikulum
dalam pengembangannya melibatkan berbagai pihak, terutama pihak-pihak yang
secara langsung ataupun tidak langsung memiliki kepentingan dengan keberadaan
pendidikan yang dirancang, yaitu mulai dari ahli pendidikan, ahli bidang studi,
guru, siswa, pejabat pendidikan, para praktisi maupun tokoh panutan atau
anggota masyarakat lainnya. Berdasarkan kepentingannya kurikulum dapat
dikembangkan dalam berbagai variasi model, tiap model memiliki karakteristik
yang spesifik yang tidak dimiliki oleh model yang lain.
Model-Model Kurikulum yang
lazim digunakan sebagai rencana pendidikan adalah sebagai berikut :
1)
Model
Administrasi
Model administrasi
atau line staff dianggap sebagai model
yang paling awal dikenal. Disebut line staff
karena pada model ini inisiatif
pengembangan kurikulum dimulai dari pejabat tingkat atas (Superintendent).
Pada Model Administrasi, inisiatif rekayasa pengembangan kurikulum menggunakan
konsep atau prosedur administrasi dimana administrator
atau pejabat pendidikan membentuk komisi
pengarah yang bertugas merumuskan konsep dasar dan landasan kebijakan dan
strategi utama dalam mengembangkan kurikulum (Sudrajat,2008).
Pejabat tersebut membuat keputusan tentang kebutuhan
suatu program pengembangan kurikulum dan implementasinya, lalu mengadakan
pertemuan dengan staf lini (bawahannya) dan meminta dukungan dari dewan
pendidikan (Board of education). Langkah berikutnya adalah membentuk
suatu panitia pengarah yang terdiri dari pejabat administratif tingkat atas,
seperti asisten superintendent, principals, supervisor, dan
guru-guru inti. Panitia pengarah merumuskan rencana umum, mengembangkan panduan
kerja, dan menyiapkan rumusan filsafat dan tujuan bagi seluruh sekolah
didaerahnya (District). Disamping itu, panitia pengarah dapat mengikutsertakan
organisasi diluar sekolah atau tokoh masyarakat sebagai panitia penasehat yang
bekerja bersama dengan personel sekolah dalam rangka merumuskan berbagai
rencana, petunjuk dan tujuan yang hendak dicapai.
Setelah kebijakan kurikulum
dikembangkan, maka panitia pengarah memilih dan menugaskan staf pengajar
sebagai panitia pelaksana (panitia kerja) yang bertanggung jawab
mengkonstruksikan kurikulum. Panitia im merumuskan tujuan umum dan tujuan
khusus kurikulum, isi (materi), kegiatan-kegiatan belajar dan sebagainya sesuai
dengan pedoman atau acuan kebijakan yang telah ditentukan oleh panitia
pengarah. Panitia mengerjakan tugasnya diluar jam kerja biasa dan tidak
mendapat kompensasi. Kondisi ini diterapkan karena berkaitan dengan tanggung
jawab guru untuk memahami dengan benar kurikulum dan meningkatkan mutu
kurikulum itu sendiri. Selanjutnya, disusu draff kurikulum yang lebih operasional melalui
penjabaran konsep kebijakan dalam tujuan operasional, penyusunan materi,
strategi dan evaluasi pembelajaran, disamping itu juga menyusun pedoman umum
sebagai petunjuk pelaksanaannya.
Namun ada permasalahan yang sering muncul didalam
pemilihan Model Administrasi ini,
antara lain: (1)
menuntut adanya kesiapan guru sebagai pelaksananya, (2 ) memerlukan
internalisasi kurikulum yang dikembangkan, tentunya
malalui penataran awal, (3) kecenderungan
bersifat searah, karena adanya sentralisasi dalam diseminasinya, (4) pada tahun-tahun pertama pelaksanaan, ada monitoring secara
intensif dan berkelanjutan tidak dapat dihindarkan.
2)
Model
Grass root
Model Grass Root atau akar rumput dikembangkan oleh Smith,
Stanley & Shores pada tahun 1957. Model Grass Root berbeda dengan rekayasa model administrasi. Inisiatif
dan upaya pengembangan kurikulum model ini bersasal dari bawah. Misalnya model
ini diawali oleh guru, pembina disekolah dengan mengabaikan metode pembuatan
keputusan kelompok secara demokratis dan dimulai dari bagian-bagian yang lemah
kemudian diarahkan untuk memperbaiki kurikulum tertentu yang lebih spesifik
atau kelas-kelas tertentu. Model ini didasarkan pada pertimbangan bahwa guru
adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempurna pengajaran dikelasnya. Sehingga
terdapat perbedaan yang signifikan jika dibandingkan dengan Model Administrasi.
Karena bila model Administrasi bersifat sentralisasi pada model akar rumput ini
bersifat desentralisasi. Hal ini memungkinkan terjadinya kompetisi di dalam
meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan menghasilkan
manusia-manusia yang mandiri dan kreatif.
Menurut
Agitara tahun 2009, orientasi yang demokratis dari rekayasa ini bertanggung
jawab membangkitkan 2 asumsi yang sangat penting yaitu :
1.
bahwa kurikulum hanya dapat diterapkan secara berhasil apabila guru dilibatkan
secara langsung dengan proses pembuatan dan pengembangannya.
2.
bukan hanya para profesional, tetapi murid, orang tua, anggota masyarakat lain
harus dimasukkan dalam proses pengembangan kurikulum.Rekayasa ini sangat bertentangan dengan model administratif, karena inisiatif dan
upaya pengembangan kurikulum model ini berasal dari bawah, dan dilakukan oleh
sekelompok atau keseluruhan guru dari suatu sekolah.
Model ini lebih berorientasi kepada sifat demokratis dan
desentralisasi dalam pelaksanaannya. Ada dua dalil atau ketentuan yang
sebaiknya diperhatikan dalam menyusun kurikulum ini:
a.
Penerapan kurikulum
dapat berhasil bila guru terlibat dalam penyusunan dan pengembangannya
b.
Melibatkan para
ahli, siswa, orang tua dan masyarakat
Ada empat prinsip pengembangan
kurikulum dalam model grass root ini antara lain :
a.
Kurikulum akan
berkembang sebagai kewenangan profesional pada pengembangan guru
b.
Kewenangan guru
dapat diperbaiki bila dilibatkan dalam revisi masalah kurikulum
c.
Bila guru dalam
menentukan tujuan yang akan dicapai dalam menghadapi seleksi, definisi,
pemecahan masalah dan mengevaluasi hasil, mereka perlu dipertimbangkan
keterlibatannya.
d.
Mempertemukan
kelompok dalam tatap muka agar dapat memahami satu dengan yang lain secara
lebih baik untuk mencapai konsensup prinsip dasar, tujuan dan perencanaannya.
3)
Model
Demonstrasi
Model Demonstrasi merupakan prakrasa seorang atau sekelompok guru yang berkerjasama
dengan para ahli dengan maksud melakukan perbaikan terhadap kurikulum. Sistematika
model ini hampir mirip model grass root, karena idenya berasal dari
bawah dan biasanya berskala kecil, karena menyangkut beberapa sekolah serta
mencakup satu atau keseluruhan komponen kurikulum.
Menurut
Smith, stanley dan shores (1957 dalam zais, 1976,
dalam efendi 2009) ada dua variasi
,model demonstrasi :
a.
Sekelompok guru
dari suatu sekolah atau beberapa sekolah ditunjuk untuk melaksanakan suatu
percobaan tentang pengembangan kurikulum yang tujuannya adalah mengadakan
penelitian dan pengembangan yang diharapkan dapat digunakkan bagi lingkungan
yang lebih luas
b.
Tidak bersifat
formal, karena beberapa guru yang merasa kurang puas dengan kurikulum yang ada
mencoba mengadakan penelitian dan pengembangan sendiri, dan mencoba
menggunakkan hal yang lain dari yang brelaku
Kebaikan model demonstrasi antara lain :
a.
Sifat kurikulum lebih
praktis dan dungsionalis karena langsung dikaitkan dan diterapkan pada
kehisupan nyata.
b.
Perubahan atau
penyempurnaan kurikulum dalam skala kecil atau aspek tertentu yang khusus,
sedikit sekali untuk ditolak administrator, dibanding dengan perubahan atau
penyempurnaan menyeluruh,
c.
Pengembangan
kurikulum dalam skala kecil dengan model demonstrasi dapat mengatasi
permasalahan dokumen yang baik namun hasilnya kurang memadai.
d.
Guru sebagai
narasumber atau yang berinisiatif dapat menjadi pendorong adnisistrator untuk
mengembangkan program baru.
Meskipun dalam pelaksanaanya tidak menutup
kemungkinan terjadi sikap tak acuh dari guru yang tidak terlibat, namun kondisi
tersebut dapat ditekan dengan penalaran dan sosialisasi tertentu yang dilakukan
semua pihak baik pihak aktif maupun pasif.
4)
Model Beauchamp
Menurut Beauchamp (dalam Sukmadinata,
2005:30 dalam Herdiana,2009), teori kurikulum secara konseptual berhubungan
erat dengan pengembangan teori dan ilmu-ilmu lain. Hal-hal penting dalam
pengembangan teori kurikulum adalah penggunaan istilah teknis yang tepat dan
konsisten, analistis dan klasifikasi pengetahuan, penggunaan
penelitian-penelitian prediktif untuk menambah konsep, generalisasi atau
kaidah-kaidah, sebagai prinsip-prinsip yang menjadi pegangan dalam menjelaskan
fenomena kurikulum. Dalam rekayasa
pengembangan kurikulum, Beauchamp secara kritis mengindetifikasi beberapa keputusan
yang mendasari rekayasa pengembangan kurikulum diantaranya :
a.
Menetapkan batas
lingkup wilayah yang akan dilibatkan dalam kurikulum tersebut, misal cakupan tingkat sekolah,
kecamatan, kabupaten, propinsi atau alam satu wilayah negara. Penetapan batas
atau lingkup wilayah ini ditentukan oleh wewenang yang dimiliki pengambil
kebijakan serta tujuan dari pengembangan kurikulum.
b.
Menyeleksi dan
menetapkan anggota yang terlibat dalam pengembangan kurikulum.
Dalam hal ini anggota yang terlibat meliputi para ahli
pendidikan atau kurikulum, para ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau
sekolah dan guru-guru terpilih, para profesional dalam sistem pendidikan, serta
profesional lain dan tokoh-tokoh masyarakat.
c.
Organisasi dan
prosedur perencanaan dalam menetapkan tujuan umum dan tujuan khusus, memilih
isi dan pengalaman belajar, evaluasi serta dalam menentukan keseluruhan desain
kurikulum.
d.
Imlementasi
kurikulum merupakan program yang paling penting
sebab membutuhkan kesiapan guru, siswa, fasilitator material dan biaya
maupun manajerialnya.
e.
Evaluasi kurikulum.
Ini memiliki 4 cakupan diantaranya : evaluasi pelaksanaan kurikulum oleh guru,
evaluasi desain, evaluasi belajar siswa, evaluasi dari keseluruhan sistem
kurikulum.
5)
Model hubungan
interpersonal dari Roger
Rekayasa
pengembangan kurikulum yang dilakukan roger melalui beberapa tahapan:
a.
Pemilihan target
sistem pendidikan. Dalam hal ini pemilihan dapat
mengikutsertakan pejabat pendidikan atau administrator.
b.
Melibatkan
pengalaman guru dalam kelompok secara intensif.
c.
Mengembangkan
pengalaman kelompok yang intensif untuk satu kelas atau unit pembelajaran.
Hal ini bertujuan agar siswa dapat terjun dalam sketsa rancangan model yang
akan digunakan. Sehingga selanjutnya siswa sebagai pelaku sendiri mampu
memberikan tanggapan terhadap rancangan tersebut.
d.
Melibatkan orang
tua dalam kegiatan kelompok secara intensif.
Dalam hal ini roger menyarankan sedapat mungkin adanya
pengalaman kegiatan kelompok yang bersifat campuran, karena kegiatan ini
merupakan kulminasi dari semua kegiatan kelompok diatas.
6)
Model Tyler
Sebelum merencanakan suatu model
kurikulum, Ralph W Tyler merumuskan empat pertanyaan mendasar yang harus
terjawab dalam suatu pengembangan kurikulum. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
antara lain:
a. What
educational purpose should the school seek to attain?
à
Apa tujuan pendidikan yang harus dicapai di sekolah?
b. What
educational experiences can be provided that are likely to attain these
purposes? à Apa pengalaman pendidikan yang
dapat disediakan jika kita mencapai tujuan tersebut?
c. How
can these educational experiences be effectively organized? à
Bagaimana pengalaman pendidikan dapat diorganisir secara efektif?
d. How
can we determine whether these purposes are being attained?
à
Bagaimana kita mampu memutuskan apakan tujuan ini telah tercapai?
Dari
keempat pertanyaan mendasar tersebut, disusunlah langkah-langkah pengembangan kurikulum model Tyler adalah
sebagai berikut:
a.
Menentukan tujuan.
Dalam menentukan tujuan pendidikan melalui langkah-langkah sebagai berikut: (1)
mempelajari siswa sebagai sumber tujuan. (2) mempelajari kehidupan kontemporer
dilingkungan masyarakat, ( 3) penentuan tujuan berdasarkan tinjauan filosofis,
(4) peninjauan tujuan berdasarkan tinjauan psikologis.
b.
Menentukan
pengalaman belajar. Ada 5 prinsip pengalaman belajar, yaitu : (1) memberikan
kesempatan kepada siswa untuk berbuat tingkah laku yang menjadi tujuan, (2)
pengalaman belajar harus menyenangkan bagi siswa, (3) siswa harus terlibat
dalam belajar, (4) diberikan beberapa pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
pendidikan, (5) pengalaman belajar yang disediakan dapat menghasilkan beberapa
kemampuan, yaitu: kemampuan berfikir, memperoleh informasi, mengembangkan sikap
sosial, mengembangkan minat.
c.
Pengorganisasian
pengalaman belajar
d.
Evaluasi
dimaksudkan untuk mengetahui hasil belajar sisa sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan dan mengetahui kelemahan dan kekuatan program kurikulum.
7)
Model Inverted
dari Taba
Model Inverted dari Hilda Taba
cenderung bersifat sederhana. Secara garis besar langkah-langkah pengembangan kurikulum
hilda taba pada dasarnya mengikuti cara-cara yang lazim dilakukan melalui
urutan :
a.
Menentukan tujuan
pendidikan.
Langkah-langkah dalam menentukan tujuan pendidikan:
-
Merumuskan tujuan
umum
-
Mengklasifikasikan
tujuan
-
Merinci tujuan
berupa pengetahuan, ber[ikir nilai-nilai dan sikap, emosi dan perasaan,
ketrampilan
-
Merumuskan tujuan
dalam bentuk yang spesifik
b.
Menseleksi
pengalaman belajar.
Untuk menseleksi pengalaman belajar dapat dilakukan
dengan melihat :
-
Relevansi dengan
kenyataan sosial
-
Balance
(keseimbangan) ruang lingkup dan kedalaman
-
Penentuan
pengalaman belajar yang luas serta beraneka ragam
-
Penyesuaian dengan
pengalaman serta kebutuhan dan minat siswa.
c.
Mengoganisasi bahan
kurikulum kegiatan belajar
Langkah-langkahnya sebagai berikut :
-
Menentukan
organisasi kurikulum, menentukan urutan, mengusahakan integrasi, menentukan
fokus pelajaran.
d.
Evaluasi hasil kurikulum
Langkah-langkahnya sebagai berikut:
-
Menentukan kriteria
penilaian
-
Menyusun program
evaluasi komprehensif
-
Teknik mengumpulkan
data
-
Interpretasi data
evaluasi
-
Menterjemahkan
evaluasi kedalam kurikulum
Untuk pembaharuan kurikulum Taba menganjurkan cara yang
berbeda dengan yang lazim digunakan untuk mengembangkan kurikulum umumnya.
Menurut Taba tahapan-tahapan yang harus dilalui sebagai berikut:
-
Tahap pertama,
penyusunan satuan pelajaran bersama sekelompok guru.
Tujuannya agar materi yang diujicobakan tidak langsung ke komposisi yang besar.
Melainkan dilihat terlebih dahulu perkembangannya untuk selanjutnya diapresiasi
ke wilayah yang lebih luas.
-
Tahap kedua,
melakukan pengujian eksperimen.
Pada
tahap ini, variabel bebas seperti cara guru menyampaikan pelajaran harus
distandarisasi agar menekan perubahan fluktuatif yang mempengaruhi hasil
pengujian.
-
Tahap ketiga,
melakukan revisi dan konsolidasi
Setelah dilakukan uji coba dan revisi, diadakanlah
pemerataan dari suatu sampel percobaan yang selanjutnya dicoba diterapkan pada
sampel yang lebih luas dengan pengaturan tertentu dan pengawasan ahli.
-
Tahap keempat,
mengembangkan kerangka kerja
Ada
dua hal yang penting dalam tahap ini yakni cakupan (scope) dan uruan (sequence).
Cakupan berperan sebagai alat ukur apakah satuan pengajaran sudah layak untuk
diberikan pada kelas teretntu, sedangkan urutan berperan sebagai alat ukur
apakah alur pengajaran sudah logis dan tidak melompat dari struktur.
-
Tahap kelima,
melakukan perakitan (instalasi dan deseminasi)
2.3 Model
Pembelajaran
Model pembelajaran inovatif untuk membelajarkan siswa.
a. Pembelajaran kontekstual
Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa di dalam
konteks bermakna, yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang
sedang dipelajar, dan sekaligus memperhatikan kebutuhan individual siswa dan
peran guru. Karena itulah pedekatan pembelajaran kontekstual harus menekankan
pada hal-hal berikut:
a)
Problem based learning, merupakan pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata
sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan
ketrampilan pemecahan masalah, serta memperoleh pengetahuan dan konsep yang
esensi dari materi pelajaran. Cakupan pendekatan ini meliputi pengumpulan informasi
berkaitan dengan pertanyaan, sintesa, dan presentasi penemuan kepada orang lain
(Moffit, 2001 dalam efendi 2009).
b)
Authentic instruction, yaitu pendekatan pembelajaran yang memperkenalkan siswa untuk mempelajari
konteks yang bermakna. Suatu konteks dapat
menjadi jawaban dari beberapa masalah yang terkait atau memiliki kemiripan.
Sehingga dengan mempelajari authentic instruction siswa dapat mengembangkan ketrampilan berpikir majemuk
dan pemecahan masalah yang penting di dalam konteks
kehidupan sehari-hari.
c) Project based learning,
yaitu suatu pendekatan pembelajaran secara komprehensif, dengan mendesain kelas
sebagai lingkungan belajar dapat mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan
terhadap masalah autentik, dengan memperkenankan siswa untuk bekerja secara
mandiri dalam mengkonstruk pembelajaran dan mengkulminasikan dalam produk
nyata.
d) Work based learning,
yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks
tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan
mengimplementasikan materi di tempat kerja atau sejenisnya (Smith, 2001 dalam
efendi 2009). Jadi dalam pendekatan work based learning ini, suatu masalah dapat diwakili oleh suatu
simulasi masalah. Siswa dituntut melakukan penyelesaian terhadap simulasi
masalah tersebut sehingga diharapkan berikutnya siswa dapat
mengimplementasikannya pada masalah sesungguhnya di kehidupan sehari-hari.
e) Inquiry based learning,
yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang mengikuti metodologi sains dan
menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna.
f) Service learning,yaitu
suatu pendekatan pembelajaran yang memerlukan penggunaan kombinasi metodologi
jasa layanan masyarakat dan pembelajaran akademis, artinya pengetahuan atau
ketrampilan baru yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan layanan di masyarakat
dilakukan melalui tugas terstruktur/proyek (McPherson, 2001 dalam Efendi 2009).
g) Cooperative learning,
yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang dilakukan melalui penggunaan kelompok
kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk
mencapai tujuan belajar (Holubec, 2001 dalam Efendi 2009).
Sehubungan
dengan kebutuhan individual siswa, maka untuk mengimplementasikan pendekatan
pembelajaran kontekstual ini guru harus memperhatikan hal-hal berikut: (1)
merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental siswa (developmentally approach), (2) membentuk
grup belajar yang saling tergantung (interdependent
learning group), (3) menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran
yang mandiri (self regulated learning)
yang memiliki 3 karakteristik umum, yaitu kesadaran berpikir, penggunaan
strategi, dan motivasi berkelanjutan (Depdiknas, 2002 dalam efendi 2009).
b. Pembelajaran berbasis masalah
Belajar
berbasis masalah (problem-based learning)
adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata
sebagai konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan
ketrampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep
yang mendasar dari materi yang dipelajari. Dalam hal ini, siswa terlibat dalam
penyelidikan untuk pemecahan masalah yang mengintegrasikan ketrampilan dan
konsep dari berbagai isi materi pelajaran. Pendekatan ini mencakup pengumpulan
informasi yang berkaitan dengan pertanyaan, mensintesakan, dan mempresentasikan
temuannya kepada orang lain (Moffitt, 2001 dalam Efendi 2009).
Strategi
Problem Based Learning secara umum memiliki beberapa ciri-ciri, yaitu
sebagai berikut: pengkajian pertanyaan atau masalah, berfokus pada keterkaitan
antar disiplin, penyelidikan autentik, menghasilkan produk atau karya dan
memamerkannya. Belajar berbasis masalah yaitu suatu pendekatan pengajaran yang
menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar
tentang berpikir kritis dan ketrampilan pemecahan masalah, serta untuk
memperoleh pengetahuan dan konsep yang mendasar dari materi pelajaran. Problem based learning (PBL) memiliki
karakteristik dimana siswa diberikan suatu permasalahan terstruktur untuk
dipecahkan.
Salah
satu hambatan yang sering terjadi dalam problem
based learning adalah kurang terbiasanya peserta didik dan guru dengan
metode ini. Faktor penghambat lain adalah kurangnya waktu. Salah satu
keuntungan dari metode ini, yaitu siswa didorong untuk mengeksplorasi
pengetahuan yang telah dimilikinya, selanjutnya mengembangkan ketrampilan
pembelajaran yang lebih independen. Hal ini sekaligus menjadi acuan untuk
pembelajaran seumur hidup, sebab ketrampilan yang dimiliki dapat ditransfer ke
sejumlah topik pembelajaran yang lain, baik di dalam maupun di luar sekolah.
Efektivitas
ciri kelas yang mampu menerapkan problem
based learning itu, antara lain: (1) pengajaran diwadahi oleh kurikulum
yang telah diprogramkan sebelumnya, (2) tingginya harapan siswa melalui
kegiatan belajarnya, (3) siswa secara cermat dan rajin memperhatikan pelajarannya,
(4) intruksi yang disampaikan jelas dan terfokus, (5) kemajuan belajar dipantau
secara tak tampak, (6) jika siswa belum mengerti, pembelajaran diulang, (7)
waktu belajar hanya untuk belajar,(8) kelas nyaman untuk belajar, (9) kelompok
belajar dibentuk dikelas sesuai dengan kebutuhan pengajaran, (10) standar
perilaku kelas tinggi, (11) interaksi pribadi antara guru dan murid tinggi, dan
(12) adanya pemberian insentif atau hadiah bagi yang memperoleh keberhasilan
belajar (Richard dan Nunan, 1990 dalam Efendi 2009).
c. Pembelajaran kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah strategi pembelajaran yang
dirancang secara berkelompok, dimana siswa belajar bersama dan saling membantu
dalam membuat diantara anggota kelompok.
Tujuan utama pembelajaran kooperatif adalah untuk menciptakan suatu situasi
dimana keberhasilan dapat tercapai bila siswa lain juga mencapai tujuan
tersebut.
Menurut
suyanto (2008) ada lima prinsip
mendasari pembelajaran kooperatif yaitu :
a) Saling tergantung secara positif
b) Semua anggota berinteraksi dan saling berhadapan
c) Setiap anggota harus belajar dan menyumbang demi
pekerjaan dan keberhasilan kelompok
d) Keterampilan bekerjasama dan bersosialisasi diperlukan
e) Siswa perlu menilai bagaimana mereka bekerja secara
efektif
Hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran
kooperatif:
a) Hasil kerja adalah hasil kelompok
b) Penghargaan adalah untuk kelompok bukan perorangan
c) Setiap anggota mempunyai peran/tugas yang merupakan
bagian dari tugas kelompok
d) Antar anggota saling memberi dorongan dan saling membantu
e) Guru memberi feedback
untuk kelompok
f) Semua anggota kelompok bertanggung jawab atas tugas
kelompoknya
Beberapa macam pembelajaran kooperatif, antara lain:
a) Numbered Head together (NHT)
Langkah-langkah penerapan model pembelajaran
kooperatif NHT:
Ø Guru meminta siswa membentuk sebuah kelompok
Ø Masing-masing kelompok terdiri atas 4 orang dan mendapatkan nomor 1,2,3,4
Ø Kemudian guru menyanyakan beberapa pertanyaan
Ø Anggota kelompok kemudian berdiskusi dan menyakinikan
bahwa masing-masing anggota kelompok mengetahui jawabannya
Ø Selanjutnya guru menyebutkan sebuah nomor, dan meminta
anggota masing-masing kelompok yang memiliki nomor tersebut untuk menyawab
pertanyaan tersebut
b) Think pair share
Ø Guru memberikan sebuah topik kepada siswa
Ø Masing-masing siswa kemudian memikirkan jawabannya
sendiri
Ø Kemudian siswa berpasang-pasangan dan masing-masing
pasangan mendiskusikan sebuah topik tersebut
Ø Selanjutnya pasangan-pasangan tersebut berbagi pendapat
dengan semua anggota kelas lainnya.
c)
JIGSAW
Langkah-langkah untuk menerapkan pembelajaran kooperatif
model JIGSAW:
Ø Siswa dibagi menjadi beberapa anggota kelompok belajar
secara heterogen, misalnya kelompok A,B,C,D
Ø Masing0masing kelompok ditunjuk menjadi ahli tentang
bidang tertentu dari materi, misalnya X, Y, Z, dan N
Ø Siswa-siswa dari kelompok
A, B, C, D yang ditunjuk Expert tentang X selanjutnya berkumpul,
belajar bersama tentang materi X sehingga menjadi ekspert tentang X. Demikian pula dengan anggota lainnya yang
ditugaskan menjadi ekspert tentang
materi lainnya.
Ø Setelah diskusi dalam kelompok ekspert ini selesai, para
ahli ini kembali ke kelompoknya semua yaitu A, B, C, D dan memberikan
penjelasan kepada anggota lainnya didalam kelompok materi yang dikuasainya dan
mendengarkan dari ahli lainnya tentang materi lainnya pula.
d)
STAD
Langkah-langkah untuk menerapkan pembelajaran kooperatif
model STAD, sebagai berikut :
Ø Guru menyajikan materi pelajaran.
Ø Siswa kemudian dibagi dalam kelompok-kelompok yang
terdiri dari 4-5 anggota yang heterogen
Ø Kelompok membantu masing-masing anggota kelompok untuk
menguasai materi tersebut
Ø Siswa kemudian mengambil kuis-kuis individual. Skor kuis
siswa dibandingkan dengan nilai rata-rata mereka dimasa lalu. Nilai kemudian
diberikan atas dasar sejauh mana sisa dapat mencapai atau melebihi yang elah
mereka peroleh dimasa lalu. Nilai-nilai ini kemudian dijumlahkan untuk
membentuk skor tim.
Ø Kemudian tim yang mencapai kriteria tertentu memperoleh
hadiah. Sistem ini memberikan kesempatan yang sama pada siswa untuk
menyumbangkan nilai-nilai maksimum pada kelompoknya
3. Penutup
3.1 Kesimpulan
Peranan kurikulum dalam
pembelajaran meliputi peranan konservatif, peranan kritis atau evaluatif, serta
peranan kreatif. Peranan konservatif yaitu peranan pewarisan budaya dari
generasi tua ke generasi yang lebih muda. Peranan kritis atau evaluatif yaitu
memilah kebudayaan dan mempertahankan yang baik, serta mempertimbangkan kembali
kebudayaan yang sudah dirasa tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Sedangkan
peranan kreatif berkenaan dengan kreasi manusia menciptakan sesuatu secara
dinamis yang terus berkembang selama peradaban dan pendidikan masih ada.
Model pengembangan
kurikulum yang dapat digunakan meliputi model administrasi, model grass root,
model demonstrasi, model Beauchamp, model hubungan Interpersonal dari Roger,
model Tyler, serta model Inverted dari Taba. Model administrasi rencananya
berasal dari pejabat, model grass root serta demonstrasi memiliki
kemiripan dengan rencana yang berasal dari pendidik, model Beauchamp menelaah
erdasarkan langkah-langkah tertentu, model hubungan Interpersonal dari Roger
menitikberatkan pada kegiatan kelompok campuran, model Tyler berdasar pada
empat pertanyaan pendidikan, dan model Inverted dari Taba menekankan pada
kesederhanaan prosedur.
3.2 Saran
1) Bagi semua pelaku pembuat kurikulum
- Diharapkan
mampu bersikap kooperatif dalam menyikapi perbedaan pandangan serta
hubungan timbal balik antara kurikulum dan pembelajaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar