saya menulis untuk diri saya, dan apa yang pembaca baca adalah untuk pembaca. didalam tulisan saya, tidak merasa saya dan semua tulisan saya terkadang berisi tentang saya ^_^

Jumat, 23 Maret 2018

KETUNARUNGUAN




 Jawablah sooal-soal tes formatif dibawah ini!
1.  Jelaskan siapa yang disebut sebagai individu dengan hambatan pendengaran?
2. Jelaskan perbedaan perolehan komunikasi pada anak mendengar (normal) dengan anak tunarungu!
3. Jelaskan tahapan perkembangan bicara pada anak dengan hambatan pendengaran!
4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan metode MMR ! dan bagaimana langkah-langkah pembelajarannya!
5. Jelaskan teknik dalam latihan prawicara!
6. Jelaskan apa yang dimaksud perdati murni dan bebas, percali, percami, dan komunikasi serempak!
7.  Jelaskan tahapan tahapan peningkatan kemampuan pendengaran pada tunarungu (PKPBI)!
8. Jelaskan metode dan pendekatan bina persepsi bunyi dan irama (PKPBI) 
9.  Gradasi pendengaran dan ketunarunguan merupakan aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam memberikan layanan pembelajaran PKPBI. Jelaskan mengapa hal tersebut merupakan aspek yang harus diperhatikan!
10.  Apa yang dimaksud dengan prinsip cibernitas dalam pembelajaran PKPBI?
11. Jelaskan teknik teknik yang dapat dilakukan guru dalam pembelajaran PKPBI!


Jawaban:
1.     Tunarungu
Gunawan. D (2012) Tunarungu merupakan istilah umum untuk menunjukkan kepada seorang yang mengalami tuli (deaf) dan kekurangan pendengaran (hard of hearing,), yang disebabkan oleh adanya kerusakan atau ketidak fungsian pada alat pendengaran, sehingga mengakibatkan perkembangan bahasa terhambat dan memerlukan suatu pelayanan khusus dalam mengembangkan potensinya.
Moores (1982: 6) dalam Gunawan. D (2012) mengemukakan orang yang tuli adalah seorang yang mengalami ketidak mampuan mendengar (biasanya pada tingkat 70 desiBell atau lebih) sehingga akan mengalami kesulitan untuk dapat mengerti atau memahami pembicaraan orang lain melalui pendengarannya dengan atau tanpa menggunakan alat bantu dengar. Sedangkan orang yang kurang dengar adalah seseorang yang mengalami ketidakmampuan mendengar (biasanya pada tingkat 35–69 desiBell) sehingga mengalami kesulitan untuk mendengar, tetapi tidakmenghambat pemahaman bicara orang lain melalui pendengarannya, dengan atau tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aid).
Hallahan dan Kauffman (1991:266) menyatakan. Hearing impairment; a generic term indicating a hearing disability that may range in severity from mild to profound it includes the substet of deaf and hard of hearing. A deaf person in one whose hearing disability precludes successful processing of linguistics information through audition, with or without a hearing aid. A hard of hearing is one who generally with use of hearing aid, has residual hearing sufficient to enable successful processing of linguistics information through audition.
Tunarungu secara garis besar dibagi dalam dua kelompok, yaitu: tuli dan kurang dengar (hard of hearing). Dikatakan tuli (deaf) adalah kesulitan mendengar yang berat sehingga mengalami hambatan di dalam memproses informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai atau tidak memakai alat bantu dengar (hearing Aid). Sedangkan orang yangkurang dengar (hard of hearing) biasanya dengan menggunakan alat bantu (hearing Aid), sisa pendengaran cukup memungkinkan untuk keberhasilan memproses informasi melalui pendengaran.
Berdasarkan letak gangguan pendengaran secara anatomis, terdapat tiga jenis ketunarunguan atas factor penyebabnya
1) Conductive loss, yaitu ketunarunguan tipe konduktif yaitu ketunarunguan yang disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada telinga bagian luar dan tengah yang berfungsi sebagai alat konduksi /menghantar getaran suara menuju telinga bagian dalam.
2) Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan yang disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada telinga bagian dalam serta syaraf pendengaran (Nerveus Chochlearis) yang dapat mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi ke otak .
3) Central auditory processing disorder yaitu gangguan pada ocial syaraf pusat proses pendengaran yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada telinga itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pemprosesan pendengaran ini mungkin memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya
.
2.     Pemerolehan Bahasa TR
Perolehan bahasa yang terjadi pada anak mendengar menurut Myklebust (1963) dalam Bunawan & Yuwati (2000) yaitiu:
Bahasa anak yang mendengar berawal dari adanya pengalaman atau situasi bersama antara bayi dan ibunya atau orang lain yang berarti dalam lingkungan terdekatnya. Melalui pengalaman tersebut, anak ”belajar” menghubungkan pengalaman dengan lambang bahasa yang diperoleh melalui pendengarannya. Proses ini merupakan dasar berkembangnya bahasa batini (inner language). Setelah itu, anak mulai memahami hubungan antara lambang bahasa dengan benda atau kejadian yang dialaminya sehingga terbentuklah bahasa reseptif anak. Dengan kata lain anak memahami bahasa lingkungannya (bahasa reseptif auditori). Setelah bahasa reseptif auditori ”sedikit” terbentuk, anak mulai mengungkapkan diri melalui kata-kata sebagai awal kemampuan bahasa ekspresif auditori atau berbicara. Kemampuan itu semua berkembang melalui pendengarannya (auditori). Setelah anak memasuki usia sekolah, penglihatannya berperan dalam perkembangan bahasa melalui kemampuan membaca ( bahasa reseptif visual) dan menulis (bahasa ekspresif visual).
Myklebust (1963) dalam Bunawan & Yuwati (2000) mengembangkan pola pemerolehan bahasa pada anak dengan gangguan sensori pendengaran berdasarkan proses pemerolehan bahasa pada anak mendengar. Ia menerapkan pencapaian perilaku berbahasa yang telah dijelaskan anak dengan gangguan pendengaran. Berhubung pada masa itu teknologi pendengaran belum berkembang, maka anak tersebut dipandang tidak/kurang memungkinkan memperoleh bahasa melalui pendengarannya. Oleh karena itu sistem lambang diterima anak melalui visual, taktil kinestetik, atau kombinasi keduanya, melalui isyarat, membaca, dan membaca ujaran. Membaca ujaran dipandang pilihan yang tepat dibanding isyarat dan membaca. Dengan kemajuan teknologi pendengaran saat ini, maka sisa pendengarannya dapat dioptimalkan untuk menstimulasi anak gangguan pendengaran dalam perolehan bahasa. Apabila membaca ujaran menjadi dasar pengembangan bahasa batini anak dengan hanbatan sensori pendengaran, maka anak dapat dilatih untuk menghubungkan pengalaman yang diperolehnya dengan gerak bibir dan mimik pembicara. Bagi anak kurang dengar yang menggunakan alat bantu dengar, dilatih untuk menghubungkannya dengan lambang bunyi bahasa (lambang auditori). Setelah itu, anak mulai memahami hubungan antara lambang bahasa (visual & auditori) dan benda atau kejadian sehari-hari, sehingga terbentuklah bahasa reseptif visual/auditori. Sama halnya seperti anak mendengar, kemampuan bahasa ekspresif (bicara) baru dapat dikembangkan setelah memiliki kemampuan bahasa reseptif. Selanjutnya anak dapat mengembangkan kemampuan bahasa reseptif visual (membaca) dan bahasa ekspresif visual (menulis). Demikian perilaku bahasa verbal yang dapat terjadi pada anak gangguan pendengaran.
Perolehan Bahasa pada Anak Mendengar (Normal)
Proses perolehan atau perkembangan komunikasi (bahasa bicara) secara umum diperoleh melalui indera pendengaran. Bayi yang lahir normal akan memperoleh pengalaman berbahasa secara mandiri melalui pengalaman atau situasi bersama antara bayi dengan ibunya dan orang lain yang berarti baginya dalam lingkungan terdekatnya. Anak tidak diajarkan kata kemudian diberitahu artinya, melainkan melalui kebersamaannya dengan bayi tersebut “belajar” atau menghubungkan pengalamannya (apa yang dilihat) dengan lambang bahasa (apa yang didengar) yang merupakan dasar bagi perkembangan bahasa bathini (inner language). Seiring dengan perkembangan usia dan kognitifnya, bayi mulai mengerti/memahami sejumlah pengalaman dari situasi kebahasaan orang-orang di lingkungan terdekatnya. Kondisi ini membentuk bahasa memahami-mendengar (reseptif auditori), dimana ia mulai memahami hubungan antara lambang bahasa dengan benda atau kejadian yang dialaminya tetapi belum dapat mengucapkannya. Samples (2002) menegaskan bahwa pada tahap ini bayi sudah memiliki kearifan dan pengalaman, tetapi karena belum menguasai bahasa, ia belum dapat mengungkapkannya. Myklebust (1963) dalam Bunawan (2000:41) menggambarkan seluruh proses pencapaian pemerolehan bahasa hingga perilaku berbahasa verbal. Semakin bertambah usia, organ-organ bicara sudah siap melakukan koordinasi dan berkonstruksi untuk bicara. Bahasa ekspresif auditorinya mulai berkembang, artinya anak memahami bahasa lingkungan (reseptif) dan mengungkapkan dirinya melalui bicara (ekspresif) sebagai respon dari apa yang dilihat dan didengarnya. Indera penglihatan mulai berperan dalam perkembangan bahasa setelah anak memasuki usia sekolah, yaitu melalui kegiatan membaca (bahasa reseptif visual) dan menulis (bahasa ekspresif visual). Kemampuan membaca dan menulis ini secara bertahap mengantarkannya pada suatu perilaku bahasa verbal sebagai puncak perkembangan dalam pemerolehan bahasa.
Perkembangan bahasa pada anak mendengar, ditandai dengan suatu rentang/masa yang simultan. Pada periode tertentu ia akan mengoceh dan mengucapkan satu kata hingga kalimat pendek untuk mengkomunikasikan dirinya. Di bawah ini gambar skema tentang pemerolehan bahasa pada anak mendengar.
Gambar 2. 1: Skema Pemerolehan Bahasa pada Anak Mendengar Sumber: Myklebust (1978)

Perolehan Bahasa pada Anak Tunarungu
Seperti yang diketahui bahwa anak tunarungu kurang/tidak dapat menerima masukan bahasa karena fungsi pendengarannya kurang/tidak berfungsi secara optimal. Seperti dikemukakan Heward dan Orlansky (1986) yang dikutip Bunawan (2000:52) bahwa ketunarunguan merupakan kerusakan sensori yang menghambat seseorang untuk menerima rangsangan semua jenis bunyi dan suara-suara pembicaraan; anak tunarungu tidak dapat menggunakan pendengarannya untuk mengerti pembicaraan, walaupun sebagian suara dapat diterima baik dengan apapun tanpa alat bantu dengar. Perolehan bahasa pertama atau bahasa ibu pada bayi umumnya melalui indra pendengaran (bahasa reseptif) dan mengekspresikannya secara lisan. Sedangkan para bayi tunarungu akan berceloteh dan mengungkapkan kata-kata ibu serta orang lain di lingkungan terdekatnya serta kejadian tentang suatu ditangkap melalui indera visual. Oleh karena itu, bayi tunarungu lebih menggunakan indera visual untuk mengamati suatu objek. Kemudian si ibu akan merespon dan bicara mengenai hal uang diamatinya bersama, namun ujaran si ibu tidak dapat didengar dan interaksi tidak terjadi. Hal ini mengakibatkan bahasa batin bayi tunarungu bukan merupakan lambang bahasa melainkan merupakan lambang visual dari pengalaman sehari-hari atau berupa bentuk ujaran atau berupa pengkodeanlainnya (gesti/isyarat). Myklebust dalam Bunawan (2000:45) menggambarkan seluruh proses pencapaian bahasa hingga perilaku berbahasa verbal anak tunarungu.
Gambar 2. 2:Skema Pemerolehan Bahasa pada Anak Tunarungu Sumber: Myklebust (1978)
Berdasarkan dua gambar di atas tentang pemerolehan bahasa pada anak mendengar dan anak tunarungu, maka terdapat beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah bahwa pada keduanya akan menuju kepada adanya suatu perilaku bahasa verbal dan sebagai titik acuannya adalah pengalaman yang dibangun sejak lahir melalui lingkungan terdekat anak. Dalam proses perkembangan bahasa, lingkungan menjadi faktor yang penting disamping faktor keturunan dan kematangan dari masing-masing anak.Semakin lingkungan memberikan stimulus positif, maka anak akan meresponnya akan lebih baik. Persamaan lainnya adalah pada saat lingkungan terdekat memberikan pengalaman-pengalaman yang positif, maka pada struktur kognisi anak akan mampu mempersepsi, menghubungkan (mengasosiasikan) dan mengorganisasi-kan stimulus yang ada menjadi pengalaman-pengalaman batin yang pada saat-saat tertentu pengalaman tersebut akan diekspresikan. Perbedaannya adalah bahwa ketika memasuki fase dimana kemampuan reseptif atau menerima sebagai modal dasar untuk memasuki fase selanjutnya, artinya bahwa anak tunarungu tidak mendapatkan feedback atas apa yang didengar seperti yang terjadi dalam perkembangan bahasa pada umumnya. Maka pada anak tunarungu kemampuan menerima atau memahami simbol-simbol yang ada, dia tafsirkan lebih banyak melalui sensori visualnya. Pada anak tunarungu kemampuan tersebut akan dikompensasikan melalui kemampuan ekspresif kinestetik berupa isyarat atau gestee. Inilah yang akan melahirkan komunikasi secara manual (isyarat) alami berdasarkan kesepakatan-kesepakatan antara anak dengan lingkungan terdekatnya. Pemerolehan bahasa pertama atau bahasa ibu pada anak tunarungu dapat dikategorikan menjadi: (1) yang memiliki orangtua tunarungu akan berkomunikasi dengan menggunakan media isyarat; (2) yang memiliki orangtua mendengar dan atau tunarungu akan berkomunikasi dengan menggunakan media isyarat dan oral, (3) yang memiliki orangtua mendengar dan berkomunikasi dengan menggunakan media oral. Keterbelakangan pemerolehan bahasa pada bayi tunarungu dari keluarga mendengar ini salah satunya disebabkan oleh terhentinya interaksi antara ibu dan bayi karena ibu tidak dapat menangkap pesan komunikasi bayi ataupun sebaliknya; ungkapan-ungkapan ibu tidak mendapat respon yang baik dari bayinya sehingga komunikasi tidak berjalan dengan baik. Dalam konteks ini kemampuan atau keterampilan membaca ujaran perlu dikembangkan meskipun memiliki banyak kelemahan. Bila membaca ujaran diajarkan sebagai dasar pengembangan bahasa batini, maka bahasa bathini anak tunarungu akan terdiri dari kata-kata seperti yang tampil pada gerak dan corak bibir sebagai pengganti bunyi bahasa berupa vokal, konsonan, dan intonasi pada anak yang mendengar. Hal ini menuntut ibu atau orang dewasa menjalin pengalaman bersama dengan anak tunarungu dan membahasakan semua tatapan, gerak-gerik, atau kejadian apapun di lingkungannya seperti kepada anak yang mendengar, sebagai dasar perolehan bahasa batin dan bahasa reseptifnya.
Setelah itu kemampuan bahasa lainnya akan berkembang sebagaimana layaknya pada anak mendengar meskipun terdapat pengalihan sensasi; dari auditif menjadi visual dan kinestetik. Berikut ini adalah penjelasan secara lebih rinci tentang perbedaan perolehan bahasa pada anak mendengar dan anak tunarungu. Pada bayi mendengar, proses perantara perkembangan bahasanya sudah memiliki dorongan untuk meniru, sikap tanggap dan peran ganda, daya ingat jangka pendek dan panjang, daya sistematisasi, dan daya refleksi coba-coba. Pada anak tunarungu, semua itu tidak dialami, bahasa yang berkembang adalah bahasa reseptif visual dan bahasa ekspresif melalui percakapan sederhana. Sementara pada anak dengar (normal), bahasa reseptifnya sampai pada tahap membaca dan bahasa ekspresifnya sampai pada tahap menulis. Perkembangan bahasa anak dengar dengan anak tunarungu berbeda. Saat anak dengar berada pada tahap reseptif auditori, anak tunarungu mengerti mengerti bahasa lingkungannya melalui bahasa reseptif visual. Kemudian, ketika anak mendengar berada pada tahap ekspresi auditori (melalui bicara), anak tunarungu melalui bahasa ekspresif kinestetik (merasakan getaran, gerakan, tetapi masih dikontrol oleh visual dan anak dapat mengucapkan contoh benda yang dilihatnya. Misalnya anak melihat bola, lalu mengucapkan „b-o-l-a”) .                                                                                
Ketika anak mendengar sudah mencapai tahap bahasa reseptif visual (menangkap lambang/simbol suatu benda, dapat langsung membahasakannya. Contoh anak melihat simbol Mc.Donald fastfood, anak sudah dapat menangkap dan memahami simbol tersebut). Sedangkan pada anak tunarungupada tahap bahasa reseptif visual, baru dikenalkan pada simbol bacaan dibantu dengan visualisasi yang konkret. Ketika anak mendengar (normal) mencapai bahasa ekspresif visual, mereka sudah dapat mengekspresikan lambang-lambang visual lewat tulisan. Sedangkan pada anak tunarungu, apa yang diucapkan baru ditulis dengan simbol-simbol bahasa. Hingga akhirnya anak tunarungu mengerti apa maksud dari tulisannya. Lebih jelasnya lagi perkembangan atau perolehan bahasa anak mendengar dan anak tunarungu dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2. 1: Perolehan Bahasa Anak Mendengar dan Anak Tunarungu Percakapan tak tergantung orang lain

- Bahasa reseptif (melalui membaca dan mendengar cerita)
- Bahasa ekpresif (melalui bercakap/menulis karangan


- Bahasa reseptif (melalui membaca ideovisual, membaca transisi)
- Bahasa ekpresif (melalui bercakap-cakap)

Kemampuan keterampilan yang diperoleh
Bahasa ekspresif (bercakap secara aktif)
Bahasa ekspresif (bercakap sederhana)
Bahasa reseptif (memahami pembicaraan lingkungan)
Bahasa reseptif (memahami percakapan lewat membaca ujaran, memahami bacaan secara global intuitif (dalam membaca ideovisual)
Proses perantara perkembangan bahasa yang tidak dapat diamati

1. Dorongan meniru
2. Conditioning; klasik dan operant
3. Sikap tanggap dan peran ganda
4. Daya ingatan jangka pendek dan jangka







3.     Tahapan Perkembangan bicara TR
Tahapan perkembangan bicara menurut Berry dan Eisenson (1975) adalah sebagai berikut:
1) Reflek vokalisasi (Reflective Vocalitation)
Tangis kelahiran bayi berlangsung sampai dengan umur dua minggu. Pada fase ini bayi hanya mampu mengeluarkan suara-suara refleks dan belum bisa membeda-bedakan meskipun rangsangan berbeda-beda. Selanjutnya mulai minggu ke tiga, tangis dan bunyi-bunyi refleks sudah dapat dibedakan sesuai dengan rangsangan. Tangisnya sudah bermakna sehingga dapat dibedakan antara tangis sakit dan tangis lapar atau tangis manja.
2) Meraban (babbling)
Tahap ini ditandai dengan kemampuan membuat berbagai bunyi yang berlangsung pada usia dua sampai tiga bulan. Bayi suka bermain-main dengan suaranya sendiri seperti orang berkumur. Bunyi-bunyi tersebut masih bersifat refleks belum membentuk vokal dan konsonan. Yang jelas bunyi-bunyi tersebut dibunyikan berulang-ulang dan secara tidak langsung merupakan latihan bagi otot-otot bicara.
3) Laling (Lalling)
Tahap ini disebut juga tahap adaptasi suara atau self imitation. Tahap ini berlangsung pada usia lima sampai tujuh bulan. Pada tahap ini pendengaran mulai berfungsi dan bayi sudah menyadari akan suara-suara yang dibuatnya, mengamati bunyi dan lingkungan dan bunyi-bunyi bicaranya sendiri. Fungsi sensoris pendengaran dan motoris dalam hal mengeluarkan suara-suara mulai berkembang secara terpadu. Pengulangan bunyi bicaranya sendiri sudah mulai berbentuk vokal dan konsonan yang lebih teratur. Tahap ini merupakan tahap penting dalam perkembangan bicara. Tahap selanjutnya diikuti dengan perkembangan mental, sosial dan emosi. Hal ini dapat diamati dari suara-suara yang berbeda bila ia menerima, menolak, atau meminta sesuatu dari lingkungannya.
4) Echolalia
Periode ini berjalan antara usia sembilan sampai sepuluh bulan. Mula-mula mencoba suara-suara lingkungannya yang didengarnya, suara-suara tersebut merupakan rangsangan awal yang kemudian ditirunya. Atas dasar peniruan suara-suara tersebut bayi sudah mampu mengucapkan satu simbol untuk satu pengertian secara lengkap meskipun ucapannya belum jelas. Misalnya “a” untuk “bola”, “num” untuk “minum”, dansebagainya.
5) Bicara sebenarnya (True Speech)
Merupakan tahap bicara sejati yang dimulai usia dua belas bulan sampai delapan belas bulan. Pemahaman terhadap kata-kata sudah lebih banyak dikuasai walaupun ucapannya belum sempurna. Bahasa pasif (reseptif) lebih cepat berkembang dibanding dengan bahasa aktif (ekspresif). Kata-kata yang diucapkan terdiri dari dua suku kata, misalnya “pa”, “ma”, “pa-pa”, “ma-ma”. Pada tahap ini anak sudah mampu mengucapkan simbol-simbol yang sesuai dengan makna yang sebenarnya. Misalnya “mi-mi” untuk simbol makna “minum”.

Dengan bunyi permainannya semakin merangsang anak sehingga variasi irama semakin berkembang. Dengandemikian maka periode ini anak terus menerus berlatih mengeluarkan fonem-fonem yang telah dikuasainya dengan berbagai kombinasi dan variasi. Pengulangan suku kata dengan jelas sudah nampak pada akhir bulan ke sembilan. Anak sudah mampu merangkaikan dua suku kata yang sama dengan ucapan yang jelas. Pengucapan suku kata ini diucapkan dengan cara tersentak-sentak, hal ini dianggap sebagai permulaan pembentukan kata., misalnya “da-da ma-ma” atau “da-da pa-pa”. Pada akhir bulan ke sepuluh anak mulai dapat berdialog menirukan suku kata yang sudah dikuasai dengan lafal yang tepat. Akhir bulan ke sebelas anak sudah berada pada tahap pemahaman suatu konsep, hanya saja satu lambang ujaran kadangkala masih melambangkan satu atau lebih simbol, terutama simbol-simbol yang baru dikenalnya. Misalnya ujaran “aju” untuk simbol “baju” atau “celana”. Pada akhir bulan ke dua belas, perkembangan bicaranya sudah lebih baik lagi dengan pola pengucapan yang menuju ke arah kesempurnaan.
Perkembangan Bahasa dari Sejak Lahir sampai dengan Usia 6 Tahun
Tabel 8. 1 Pengembangan Bahasa (M.F. Berry & John Eisenson, 1970; L. Nicolosi & Colins, 1989) Usia
U r a i a n
0 – 1,5 bln 1 bln 1,5 bln
Tahap 1; Reflexive Vocalization
a. Tangis tidak berbeda
b. Tangis berbeda

1,5 – 6 bln
Tahap 2; Babbling (ngoceh)
a. Bunyi seperti kumur-kumur (gurgels)
b. Bunyi mirip a, i, u, e, o

Durasi kenyaringan berbeda-beda
c. Bunyi mirip p, b, g + mirip vokal a = pa, ba, ga.

(homogen) en, en, en
d. a s/d c, bersifat reflex

6 – 9 bln
Tahap 3; Lalling (ngoceh)
a. Bunyi kombinasi mirip + vokal = b = gup, gup

(kombinasi butir 2c) atau = bunyi heterogen
b. Pendengaran mulai berfungsi (S14) ???

9 – 12 bln
Tahap 4; Echolalia (meniru)
a. Mengulang suku kata, mirip kata
b. Menggunakan ekspresi wajah (T3)
c. Menggunakan tangan dan lengan (T2)
d. Tahap ini belum faham …

12 – 18 bln
Tahap 5; True Speech (bicara benar)
a. Paham obyek, aktivitas
b. Pengujaran yang belum sempurna artikulasinya, tetap mempunyai satu makna bagi anak.
c. Mengenal salah satu bagian tubuhnya.
d. Mampu merespon; dah, dah.
e. Perbendaharaan bahasa 5 – 6 kata. (terlalu sedikit;tergantung stimulasi); 1 kalimat terdiri atas 5-6 kata

Usia
Reseptif/Pemahaman
Ekspresif/Pengujaran
18 – 24 bln

a. Mengenal identitas tiga bagian tubuh.
b. Mengenal identitas lima bagian tubuh.
c. Paham perintah sederhana; ambil bola.
d. Paham larangan sederhana; tidak boleh.
e. Mengenal benda yang menjadi miliknya.
f. Mengenal orang-orang yang sering ditemui.
g. Mengenal binatang peliharaan.


a. Panjang kalimat 1,5 kata.
b. Perbendaharaan bahasa 10-20 kata (18 bln), 200 kata (24 bln), 50% kata benda (18 bln) 39% kata kerja (24 bln)
c. Kombinasi 2-3 kata; bola saya, bola saya baru.
d. Mulai muncul kata sifat; bagus, jelek, panas, dingin.
e. Mulai menggunakan imbuhan; diambil.
f. Mulai menggunakan kata kerja; lihat, mau, pergi.
g. Mulai menggunakan frase kalimat.
h. Mulai muncul kata ganti; saya, kamu.
i. Banyak peniruan kata.
j. Mulai menggunakan ungkapan tetap; jangan menangis, hati-hati.

2 – 3 thn

a. Paham dan mampu memperagakan beberapa kata aktivitas dari gambar tertentu.
b. Paham kata benda yang mengacu pada manusia (keluarga); ayah, ibu, kakek, nenek, kakak, adik.
c. Paham kata yang mengacu pada tempat; di dalam, di luar, di bawah.
d. Paham tentang jumlah banyak, sedikit.
e. Dapat menyimak cerita sederhana.
f. Paham objek dan penggunaannya.
g. Paham lawan kata; datang-pergi, lari-jalan, memberi-meminta.
h. Paham beda makna dan posisi kata benda; mobil didorong truk, truk didorong mobil.
i. Paham struktur kalimat. Paham ukuran-ukuran.


a. Mampu mengujarkan obyek-obyek yang ada di lingkungannnya.
b. Pengaruh yorgon berkurang
c. Jumlah perbendaharaan bahasa sebanyak 200-300 kata, dengan perbandingan; kata benda 38,6%: kata kerja 21% : kata keterangan 7,1% : kata ganti 14,6%.
d. Mampu bertanya sederhana (sifatnya masih ego sentris); dimana bola?
e. Mampu menyebutkan namanya dengan lengkap.
f. Mampu mengucapkan, tanpa sintaksis yang benar; lihat saya jangan.
g. Mampu menggunakan kata sambung dan; ibu dan bapak.


3 – 4 thn (KB/PG)

a. Terjadi peningkatan dalam keterampilan menyimak dan mulai mempelajari dari hasil menyimak.
b. Paham 1500 kata-kata.
c. Paham semua kalimat dan kalimat majemuk.
d. Paham tentang sikap/tingkah laku sosial melalui percakapan.


a. Mampu mengucapkan 900-1500 kata-kata.
b. Rata-rata panjang kalimat 3 kata.
c. 90-100% dari kontak bicara biasanya bida dimengerti, namun masih ada gangguan struktur kalimat.
d. Mampu melanjutkan percakapan yang panjang.
e. Dalam bicara suka mengkritik dan merasa lebih tahu/berkuasa.
f. Terjadi kematangan penggunaan kata kerja, penggunaan kalimat perintah, dan kalimat penegasan.
g. Mampu menggunakan pertanyaan dengan kata, apa, mengapa, dimana, bagaimana.
h. Mampu menggunakan kata ganti orang; kami.
4 – 5 thn (TK “A”)

a. Paham 1500-2000 kata-kata.
b. Paham perintah dengan 3 perbuatan.
c. Paham kata penghubung; jika, sebab, kapan, mengapa.


a. Mampu mengucapkan hampir 2000 kata-kata.
b. Rata-rata panjang kalimat 3-4 kata.
c. Bahasa yang digunakan sudah lengkap (bentuk dan susunan)
d. Mampu menggunakan kata penghubung.
e. Mampu mengisahkan suatu cerita tentang diri-sendiri atau lingkungan dengan diberi sedikit rangsangan.

5 – 6 thn (TK “B”)

a. Paham 2500-2800 kata-kata.
b. Paham benar terhadap kalimat-kalimat yang lebih sulit, namun masih bingung mengenai waktu yang tersirat dalam kalimat; besok, sekarang, kemarin, lusa.


a. Mampu mengucapkan 2500 kata-kata.
b. Rata-rata panjang kalimat 5-6 kata.
c. Mampu menggunakan semua kata ganti dengan benar dan mantap.
d. Mampu menggunakan kata sifat komparatif; besar-lebih besar-terbesar, nyaring-lebih nyaring-ternyaring.
e. Mampu menjawab telepon dan bercakap-cakap.
f. Mampu menceritakan cerita-cerita khayal.
g. Mampu menggunakan kata depan; di, ke, dari.









4.    MMR
Tujuan dari MMR adalah:
a. Agar anak tunarungu dapat semakin bersikap oral
b. Agar anak tunarungu dapat dan suka mengungkapkan ide, gagasan, pikiran, dan curahan hati
c. Agar anak tunarungu dapat dan suka membaca sendiri
d. Agar anak tunarungu dapat berkomunikasi dengan teman sebayanya yang berpendengarannya normal
Perkembangan penguasaan bahasa dan kemampuan berbahasa anak tunarungu yang menggunakan MMR bersumbu pada percakapan. Setiap hari kita sering berbicara satu sama lain, begitu pula dengan mereka. Dalam MMR ini yang terpenting adalah percakapan dimulai dengan seorang anak, kita menangkap maksud atau pernyataan anak tersebut, lalu menafsirkan pernyataan dengan cara bertanya. Apabila ada anak salah mengucapkan fonem dan kalimat, kita berusaha membetulkannya. Usahakan kita sering bertanya, mengundang, mangajak, menentang, bahkan berdebat untuk menimbulkan reaksi spontan dari anak ini sehingga percakapan ada lanjutannya. Percakapan ini akan menghasilkan anak tersebut dapat bersikap oral dengan lancar, artikulasinya jelas, dan berani bergaul, serta mencapai kemampuan berbahasa yang maksimal.
Secara garis besar, kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ini terdiri atas kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak, membaca dan menulis yang dikemas secara terpadu dan utuh. Dengan ini anak memahami dan dapat menemukan sendiri kaidah-kaidah percakapan.
Menurut Maria Susila Yuwati (2000: 12) komponen metode maternal reflektif adalah :
1) Wicara
Semua anak tunarungu harus diberi kemungkinan untuk mengembangkan bicaranya. Dalam penerapan komtal guru/ orang tua sebanyak mungkin berkomunikasi dengan berbicara kepada anaknya dan diberi latihan bicara secara intensif.
2) Membaca ujaran
Kemampuan membaca ujaran harus sedini mungkin dikembangkan pada anak, antara lain dengan selalu berkomunikasi melalui bicara maupun isyarat secara simultan.
3) Membaca dan menulis
Membaca dan menulis memegang peran penting dalam berkomunikasi bagi anak tunarungu. Sejak kecil anak diberi lambang tulisan, missalnya dalam kombinasi gambar atau situasi yang dialami.
4) Sistem isyarat bahasa Indonesia
Sistem isyarat Bahasa Indonesia adalah alat komunikasi gerakan-gerakan tangan yang disusun secara sistematis dan berfungsi mewakili bahasa Indonesia, berdasarkan kosa kata dasar Bahasa Indonesia yang berlaku pada saat ini.
5) Sistem ejaan jari
Ejaan jari Indonesia dibentuk dengan tangan atau posisi jari tertentu untuk menggambarkan huruf-huruf abjad, tanda baca dan kosa kata bahasa lisan yang belum memiliki isyarat.
6) Mendengar
Kemampuan yang masih dimiliki anak tunarungu dalam menangkap dan menghayati bunyi harus dimanfaatkan seoptimal mungkin. Karena itu dalam penerapan komtal diberikan bina persepsi bunyi dan irama, sehingga anak dapat mengembangkan kemampuan berbahasa.
Widyatmiko S.A (2003: 4) komponen-komponen MMR antara lain:
a. Gesti/ isyarat dengan atau tanpa ekspresi wajah
b. Suara/ bunyi yang bermakna
c. Bunyi/ suara yang merupakan lambang, kata bunyi bahasa
d. Bicara
e. Menulis
f. Gambar
7. Tahapan peningkatan kemmapuan PKPBI
Tahapan-Tahapan Peningkatan Kemampuan Pendengaran:
a. Deteksi
Untuk mengetahui ada atau tidaknya bunyi dilakukan dalam permainan, dimana anak-anak belajar memberi jawaban terhadap bunyi yang ia dengar. Frekuensi vocal yang mudah seperti (oo), yang sedang (ah) dan (brem-m-m), lebih mudah dideteksi oleh anak-anak, oleh karena mereka sering mendengar bunyi-bunyi konsonan tersebut, kemudian dilanjutkan dengan bunyi-bunyi konsonan (m-m-m), (b-b-b) dan bisikan (baa), maka akan menambah pengenalan pendengaran.
b. Diskriminasi
Membedakan bunyi dalam hal kualitas, intensitas, durasi dan nada. Apabila anak-anak keliru dalam berkata, maka mereka harus belajar membedakan bunyi dulu.
c. Identifikasi
Bila anak-anak itu mulai menggunakan perkataan yang bermakna, maka orang tua dapat menambah bagaimana pendengaran anak tersebut dalam pembendaharaan katanya melalui permainan/aktivitas sehari-hari.
Pemahaman
Dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan, bercerita dan memberikan lawan kata.
Berdasarkan gambaran tentang penjelasan program pengembangan komunikasi persepsi bunyi dan irama (PKPBI) dengan berbagai komponennya, maka tahapan program pengembangan komunikasi persepsi bunyi dan irama (PKPBI) dapat dibuat kesimpulan dalam bentuk tabel di bawah ini.
Tabel 4.2 Program PKPBI Tahap
Sasaran
Tujuan
Materi
Deteksi
Ada atau tidak adanya bunyi latar belakang; bunyi benda dan musik; bunyi bahasa
Mendeteksi bunyi nada tinggi /rendah; bunyi benda, musik nada tinggi/rendah;
Bunyi alam, bunyi binatang, bunyi yang dihasilkan manusia
Diskriminasi
Membedakan macam-macam sifat bunyi bahasa
Mendeteksi persamaan atau perbedaan (persepsi) antara pola ujaran.
Bunyi panjang-pendek, Tinggi-rendah Keras-lemah Cepat-lambat
Identifikasi
Mendengarkan bunyi bahasa yang diucapkan guru, lalu mengidentifikasikan dengan benda, gambar atau tulisan
Menerapkan label-label terhadap rangsangan ujaran yang dapat dibedakan
Fonem, suku kata, kata-kata, kelompok kata atau kalimat.
Komprehensi
Anak yang telah mampu mengidentifikasi lebih dari 50% materi/stimulus
Memahami arti atau makna stimulus yang diucapkan
Dimulai dari perbendaharaan bahasa yang telah dimiliki anak, berupa pertanyaan yang harus dijawab, perintah yang harus dilaksanakan, lawan kata, dan interpretasi.


Latihan-latihan yang dapat dilakukan guru, diantaranya adalah :
1.        Pengenalan berbagai bunyi dan sumber bunyi
Dalam kegiatan ini anak dikenalkan dan disadarkan pada benda atau alatyang dapat menimbulkan bunyi-bunyi di sekitar anak. Terutama bunyi-bunyi yang banyak menimbulkan getaran seperti: tambur, gong, tape, rebana, dll.
Alasan memilih alat-alat tersebut adalah karena pada tahap awal, anak baru dikenalkan bunyi-bunyi tadi melalui getaran yang dirasakan oleh anak dengan jalan meraba sumber bunyinya. Kemudian anak juga harus dapat merasakan ada getaran atau tidak pada sumber bunyi yang dipegangnya. Contoh: penggunaan tape recorder sebagai sumber bunyi.
 Tape dihidupkan dengan keras dan anak diajak meraba salon/pengeras suara untuk merasakan getarannya.
 Setelah anak dapat merasakan getaran pada salon, tape recorder lalu dimatikan dan anak merasakan getaran pada salon tidak ada lagi. Demikian berganti-ganti dihidupkan lalu dimatikan secara berulang-ulang sehingga anak bisa membedakan betul ada getaran atau tidak.
 Bila anak merasakan getaran pada salon, baru kami katakan “ada bunyi tape recorder”. Kalau getaran hilang, kami katakan “tidak ada bunyi tape recorder”. Ini dilakukan baik secara individual maupun dalam kelompok kecil dalam tempo yang cukup lama.

2.        Latihan membedakan ada dan tidak ada bunyi
Pada kegiatan ini digunakan satu sumber bunyi dalam satu kesempatan latihan. Untuk mengetahui anak dapat menangkap bunyi atau tidak, maka ia diminta untuk bereaksi bila menangkap bunyi, dan anak harus diam atau tidak melakukan apa-apa bila tidak menangkap bunyi.Contoh:
 Anak harus melompat ke dalam lingkaran bila mendengar bunyi tambur.
 Atau anak harus menggoyang-goyangkan tangannya di atas kepala bila mendengar bunyi bel.
 Anak boleh menari bila ada bunyi tape recorder, dan diam bila bunyi tape recorder tidak ada.

Seterusnya dilakukan kegiatan yang hampir sama untuk bunyi-bunyi yang lainnya, hanya diberikan variasi permainan atau kegiatan agar anak tidak merasa bosan.
3.        Latihan membedakan sumber bunyi
Latihan ini diberikan agar anak lebih berkonsentrasi pada sisa pendengarannya supaya ia dapat mengetahui bunyi apa yang didengar atau ditangkapnya.Contoh: sumber bunyi yang digunakan adalah tambur dan bel. Pelaksanaannya bisa individual atau kelompok.
 Anak harus menyebut nama sumber bunyi yang didengarnya, sedangkan bunyi-bunyi itu akan diperdengarkan secara bergantian pada anak.
 Atau anak melakukan gerakan yang berbeda, seperti gerakan melompat bila mendengar bunyi tambur dan mengangkat tangan sambil digoyangkan bila menangkap bunyi bel.

4.        Latihan mengenal berbagai sifat bunyi yang ada di sekitar.
Ada beberapa macam sifat bunyi, yaitu bunyi itu ada atau tidak ada, bersifat panjang-pendek bunyi, keras-lembut bunyi, tinggi-rendah bunyi, cepat-lambat bunyi. 4.1. Latihan membedakan bunyi panjang pendek Alat yang dapat digunakan adalah alat tiup atau tekan, seperti melodika, pianika, terompet, peluit, atau organ elektrik.
 Guru mengajak anak mengelilingi sumber bunyi
 Guru menekan atau meniup alat musik dengan bunyi panjang: “tuuuut”. Kemudian guru segera memberi istilah “anak-anak mendengar bunyi panjang”.
 Guru menekan atau meniup alat musik dengan bunyi pendek : “tut” dengan jarak beberapa detik, ulang lagi “tut” dan ulang lagi “tut”. Kemudian guru memberikan istilah “anak-anak mendengar bunyi pendek”.
 Guru dapat mengulangi hal tersebut beberapa kali untuk memberi kesempatan kepada anak untuk mengatakan panjang atau pendek secara bersama-sama atau perorangan. Latihan juga dapat diberikan melalui permainan.

5.        Latihan membedakan bunyi keras lembut
Untuk melatihnya dapat menggunakan alat musik apa saja, seperti organ listik, drum, rebana, pianika, melodika.
 Guru mengajak semua anak, kemudian guru menugaskan salah satu anak untuk memukulnya. Apabila pukulannya cukup keras, guru segera mengatakan “uh, bunyi drum keras, ya!”. Anak disuruh meloncat dengan tangan ke atas, atau bertepuk tangan kuat-kuat, atau melompat ke depan sambil mengucapkan “pa” keras, atau anak menggambar garis tebal di papan tulis. Demikian juga sebaliknya, ketika pukulan lembut, guru menyuruh anak bertepuk lembut atau mengucapkan “pa” lembut atau anak berbisik kepada temannya, “ssstt”, atau anak menggambar garis tipis di papan tulis.
 Guru dapat menugaskan anak secara bergantian. Untuk lebih menghayati perbedaan bunyi itu dapat dibarengi dengan ekspresi berbagai gerakan spontan..

6.        Latihan membedakan bunyi tinggi rendah
 Instrumen yang digunakan adalah satu jenis alat musik (satu timbre), yaitu organ, karena organ mempunyai nada terdiri dari beberapa oktaf. Guru melatih perbedaan bunyi dengan kontras paling besar, misalnya beda nada C dan c‟ (jarak 2 oktaf). Sedikit demi sedikit kontras kedua nada diperkecil/didekatkan, misalnya beda nada c dan g (jarak 5 nada), akhirnya membedakan dua nada yang sangat dekat jaraknya, misalnya beda c dan d (jarak 2 nada).
 Guru mengajak anak mengelilingi organ.
 Guru menekan tuts pada nada bas C beberapa detik, lihat reaksi anak. Guru lalu menekan tuts pada nada c” (c kecil garis 2) beberapa detik, guru melihat reaksi anak. Guru menanyakan, “sama atau tidak?”. Ulangi hal tersebut beberapa kali hingga anak dapat mengatakan “tidak sama”. Saat guru menekan nada tinggi, guru segera memberi istilah bunyi tinggi. Begitu juga sebaliknya, ketika menekan nada rendah, guru memberi istilah, “anak-anak mendengar bunyi rendah” .
Ulangi kegiatan ini beberapa kali hingga anak dapat mengatakan bunyi rendah atau bunyi tinggi melalui berbagai aktivitas multisensori, merasakan resonansi bunyi, merasakan vibrasi dengan menempelkan telapak tangannya pada organ. Untuk lebih menghayati perbedaan bunyi itu dapat dibarengi dengan ekspresi berbagai gerakan spontan.
7.        Latihan membedakan bunyi cepat dan lambat
Intrumen yang digunakan sebaiknya alat musik pukul, misalnya drum, rebana, tambur, kentongan, gamelan.
 Anak mengelilingi sumber bunyi (alat musik pukul), guru memukulnya dengan cepat, selang beberapa detik guru memukul dengan lambat. Guru memukulnya beberapa kali.
 Guru menyuruh anak memukul bergantian, anak-anak lain menirukannya dengan bertepuk tangan, sambil mengatakan “cepat” atau “lambat”. Atau dengan permainan menirukan hewan, ketika anak mendengar bunyi cepat, anak menirukan burung terbang dengan merentangkan tangan sambil berlari. Sebaliknya ketika anak mendengar bunyi lambat, anak menirukan seekor gajah yang berjalan pelan-pelan.

8.        Latihan gerak berirama
Gerak berirama merupakan perpaduan antara latihan mengenal gerak-gerak dasar dan mengenal irama. Latihan mengenal gerak-gerak dasar (gerak dasar kaki, lengan, bahu, jari, leher, panggul, mata dan gabungan gerak-gerak dasar) dan mengenal irama (2/4, 3/4, 4/4, dsb) yang diwujudkan dalam latihan menari yang dasar geraknya adalah irama tersebut, merupakan dasar bagi anak tunarungu untuk mengenal gerak berirama akhirnya juga mengarah kepada perbaikan ucapan anak agar semakin jelas dan berirama.
9.        Latihan mendengar bahasa.
Dalam latihan ini anak bisa menggunakan Speech Trainer atau alat bantu dengar (ABD) anak sendiri dan alat bantu dengar (ABD) kelompok (looping). Kegiatannya adalah:
 Guru mengucapkan kata/kelompok kata yang sudah dikenal atau dikuasai anak dengan jelas dan cukup keras. Anak diminta mendengarkan tanpa melihat ujaran, lalu anak diminta mengulangi ucapan tersebut.
 Guru menuliskan beberapa kata/kelompok kata yang sudah dikenal, sedangkan anak diminta mendengarkan melalui speech trainer atau alat bantu dengar (ABD) ucapan guru, tanpa melihat ujarannya. Kemudian anak disuruh menunjukkan tulisan yang sesuai dengan ucapannya.
6 perdati , percamsi,
Menurut jenisnya, percakapan dari hati ke hati (Perdati) dibedakan atas Perdati Murni dan Perdati melanjutkan informasi
1).  Perdati Murni atau Perdati Bebas
Disebut perdati murni karena percakapan berasal dari ungkapan perasaan yang keluar dari lubuk hati anak sendiri, dan tidak dipengaruhi oleh orang lain. Disebut perdati bebas karena percakapannya masih sangat bebas. Pada umumnya perdati murni terjadi pada anak tunarunguyang belum mengasai bahasa sepatah katapun, termasuk juga anak tunarungu yang baru menguasai sepatah atau dua patah kata sampai penggunaan kalimat yang belum sempurna.
Pedoman pelaksanaan Perdati Murni :
a) Guru harus menyimak ucapan atau bunyi meraban yang dikeluarkan oleh anak.
b) Guru cepat tanggap untuk memahami ucapan atau meraban kemudian mencari makna ucapan atau meraban anak tersebut. Untuk mengetahui makna ucapan tersebut, perhatikan gerak-gerik anak, apakah anak mengisyaratkan sesuatu untuk memaknai apa yanag diucapkannya.
c) Guru menangkap makna isyarat, gerak-gerik atau suara meraban dan segera membahasakannya dengan mengucapkan kalimat singkat, jelas dihadapan wajah anak.
Guru memerankan posisi anak dengan mengucapkan apa yang ingin anak ucapkan.
d) Guru berperan sebagai lawan bicara anak atau dirinya sendiri dengan cara menanggapi ucapan yang dimaksud oleh anak.
2) Perdati Melanjutkan Informasi
Percakapan diawali dengan adanya informasi, penyampaian berita, pemberitahuan dari seseorang anak atau guru tentang sesuatu hal yang tidak dialami bersama yang menyangkut pengetahuan. Pedoman pelaksanaan Perdati Melanjutkan Informasi :
a) Percakapan atau informasi berasal dari anak.
b) Guru menyempurnakan dan melengkapi ucapan anak.
c) Guru memberi motivasi kepada anak lain untuk aktif terlibat dalam percakapan.
d) Guru menjadi vasilitator aktif agar percakapan terus berlangsung dengan baik dan dapat difahami oleh semua anak.

Pelaksanaan Percakapan Membaca Transisi (Percamsi)
Pelaksanaan percakapan membaca transisi (percamsi) merupakan suatu percakapan yang membahas mengenai konsep waktu yang bersumber pada bacaan deposit kelas lain baik kelas paralel maupun kelas yang berada diatasnya atau diambil dari bacaan deposit yang telah lalu, membaca transisi merupakan jembatan yang menghubungkan antara kegiatan membaca ideovisual dengan membaca reseptif. Namun sebelum anak beralih pada membaca reseptif terlebih dahulu dimantapkan dari segi kesiapan dalam memahami isi bacaan dan konsep waktu. Sehingga kegiatan membaca transisi baru diberikan di kelas empat dan tidak akan diberikan dikelas dasar rendah seperti kelas satu dan dua.
Langkah-langkah dalam kegiatan percamsi berbeda dengan pelaksanaan perdati baik perdati bebas maupun melanjutkan informasi. Guru memilih materi bacaan percamsi yang diambil dari deposit kelas lima yaitu kelas yang satu level lebih tinggi dari kelas empat. Pelaksanaan percakapan membaca trasnsisi dilaksanakan sesuai dengan langkah-langkah pelaksanaan percamsi dalam MMR yang memuat dua inti kegiatan yaitu kegiatan mempercakapkan isi bacaan dan kegiatan mengolah konsep waktu. Melalui pancingan-pancingan pertanyaan yang provokatif, guru berhasil membuat siswa aktif dan kritis. Walaupun guru meminjam bacaan dari kelas lima namun, guru tidak menuliskan keseluruhan deposit bacaan kelas lima tersebut, tetapi guru menyortir kalimat yang tidakperlu dan menambahkan beberapa kalimat untuk menyempurmakan bacaan tersebut. Ciri utama dalam kegiatan membaca transisi yaitu percakapan, identifikasi langsung dan tidak langusng namun porsinya diperbanyak. Teks bacaan transisi sumbernya bisa diambil dari bacaan deposit beberapa hari, minggu atau bahkan beberapa bulan yang lalu, juga dapat dipinjam dari bacaan deposit kelas lain seperti kelas paralel atau dari kelas yang berada satu tingkat lebih rendah atau lebih tinggi, yang kemmapuan bahasanya tidak jauh berbeda, selain itu bisa juga diambil dari surat edaran atau pengumuman sekolah dan lain-lain. Langkah-langkah dalam pelaksanaan kegiatan membaca transisi yaitu guru menyiapkan dan menuliskan bacaan transisi tersebut di papan tulis sebelum kegiatan membaca dimulai. Kemudian anak diberikan kesempatan untuk membaca bacaan tersebut secara bersama-sama satu sampai dua kali. Siswa dan guru mempercakapkan isi bacaan dengan memberikan beberapa kunci pertanyaan sebagai pancingan, kegiatan tersebut sama dengan kegiatan membaca ideovisual. Lalu siswa dan guru mengolah konsep waktu, dengan memanfaatkan kata keterangan waktu yang terdapat dalam bacaan, yang kemudian dikaitkan dengan hari, tanggal, dan bulan ketika pengalaman dalam bacaan tersebut dibicarakan atau dipercakapkan. Selanjutnya dikaitkan dengan waktu hari ini di mana bacaan tersebut diolah dan dipercakapkan kembali. Untuk membantu memperjelas konsep waktu kepada anak, guru menyiapkan media kalender atau menggunakan garis-garis pertolongan untuk menghitung jumlah hari yang telah berlalu. Setelah bacaan selesai diolah anak mencoba menceritakan kembali isi bacaan secara singkat berdasarkan konsep waktu yang lampau. Diakhir kegiatan anak mencatat bacaan beserta hasil pengolahan konsep waktu dalam buku bahasa kemudian mengerjakan evalusi yang diberikan oleh guru seputar isi bacaan dan konsep waktu yang telah dibahas secara bersama-sama.

Pelaksanaan Percakapan Membaca Reseptif (Percatif)
Pelaksanaan membaca reseptif yang hasilnya bahwa membaca reseptif disebut sebagai tahap membaca lanjut atau pemahaman dimana siswa belajar memahami isi bacaan yang menceritakan pengalaman orang lain dan juga disebut sebagai tahap membaca sebenarnya di dalam MMR. Sumber-sumber bacaan dalam kegiatan membaca reseptif diambil dari buku bacaan, buku paket, koran, majalah dan lain-lain.Sebelumsiswa belajar membaca reseptif, semua siswa harus sudah kenyang pada tahap membaca permulaan atau ideovisual yaitu membaca kata, kalimat dan cerita pendek hasil percakapan yang isinya masih seputar pengalaman dirinya. Sehingga membaca reseptif baru ada di kelas-kelas dasar tinggi seperti kelas enam, tujuh dan delapan yang kemampuan bahasanya sudah mendekati atau bahkan sudah purna bahasa. Dalam kegiatan membaca reseptif anak dibimbing agar dapat memahami isi bacaan tanpa bantuan orang lain, anak sendirilah yang harus mencoba mengartikan kata-kata atau kalimat serta harus memahami hubungan antara kalimat satu dengan yang lainnya. Pelaksanaan membaca reseptif terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut: pertama guru mencontohkan membaca seluruh bacaan tepat dihadapan semua siswa kemudian, siswa diperintahkan untuk memperhatikan. Setelah selesai membaca, guru memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk mengulang membaca bacaan tadi secara individu di dalam hati. Setelah semua siswa selesai membaca, guru dan siswa mempercakapkan seluruh isi bacaan dengan menggunakan beberapa pancingan pertanyaan sehingga anak secara spontan mau memberikan reaksi berupa tanggapan yang akhirnya akan membuat anak menceritakan kembali bagian-bagian dari bacaan tersebut dengan kata-katanya sendiri atau pun kalimat yang ada pada bacaan. Dengan bimbingan guru diharapkan anak mau mencoba mengartikan kata-kata baru. Apabila terdapat kata yang membutuhkan penjelasan lebih, guru akan mendemonstrasikan atau bermain peran dengan anak. Setiap anak diberikan kesempatan untuk menceritakan kembali isi bacaan dengan kata-katanya sendiri. Setelah kegiatan membaca dan mengolah bacaan selesai biasanya guru akan memberikan latihan refleksi terhadap aspek kebahasaan yang terdapat pada bacaan..
Materi refleksi diangkat dari gejala bahasa yang ada pada bacaan, seperti menjelaskan mengenai makna kata, ungkapan baru, peribahasa dan lain-lain. Kegiatan terakhir adalah memberikan evaluasi atau pertanyaan seputar isi bacaan yang telah dibahas dan dipercakapkan. Kegiatan belajar mengajar difokuskan dalam memahami isi bacaan yang berisi pengalaman orang lain.Selama kegiatan belajar mengajar guru bertugas membimbing siswa agar dapat memahami isi bacaan dengan cara memberikan pancingan-pancingan pertanyaan yang bersifat provokatif sehingga siswa dapat menceritakan kembali pokok-pokok isi bacaan dengan kata-katanya sendiri.Guru membimbing siswa agar memahami berbagai macam istilah, ungkapan, pribahasa yang terdapat dalam bacaan dengan pancingan pertanyaan dan demonstrasi.
Percakapan Linguistik (Percali)
Kegiatan percakapan linguistik disebut sebagai percakapan tata bahasa reflektif yang bertujuan agar anak tunarungu semakin berkembang penguasaan bahasanya, terutama penguasaan terhadap struktur-struktur bahasa secara pasif. Dengan percakapan linguistik diharapkan anak dapat menemukan sendiri dan menyadari tentang aspek-aspek kebahasaan dalam suatu bacaan seperti adanya peraturan dan kaidah dalam bahasa Indonesia. Percakapan linguistik merupakan suatu proses yang panjang dan merupakan tahap akhir dalam pelaksanaan metode maternal reflektif.
Percakapan linguistik merupakan kelanjutan dari proses refleksi yang selalu diberikan setelah proses bercakap dan membaca. Oleh karena itu percakapan linguistik disebut sebagai kegiatan refleksi besar karena pelaksanaannya memiliki jam khusus serta materi yang lebih kompleks namun materi tetap bertitik tolak dari bacaan hasil percakapan. Ciri dari percakapan linguistik adalah anak sendirilah yang harus menyadari dan menemukan tentang aspek-aspek kebahasaan yang terdapat pada bacaan yang disebut dengan (Discovery Learning). Dalam melaksanakan percakapan linguistik guru dibantu dengan lembar kategori. Lembar kategori adalah catatan-catatan hasil refleksi yang dibuat oleh siswa pada kegiatan percakapan kemudian diproses lebih lanjut untuk menemukan istilah baku dalam tata bahasa. Contohnya pada saat kegiatan refleksi guru menugaskan kepada setiap anak untuk mencari kata-kata yang terdapat suku kata me- sebanyak-banyaknya seperti memasak, menyapu, membeli, mencuci dan lain-lain. kemudian hasilnya tersebut digabungkan dan disalin ke dalam sebuah kertas yang dinamakan lembar kategori, kemudian pada saat percakapan linguistik dibahas kembali melalui sebuah percakapan tentang kata berimbuhan sehingga anak dapat memahami dan mengerti bahwa kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang berimbuhan me- dan diharapkan anak tersebut dapat berkata “Ooo, itu yang dinamakan imbuhan dan kata berimbuhan”.
8. Metode dan pndektn PKPBI
Metode dan Pendekatan Bina Persepsi Bunyi dan Irama (BPBI)
Salah satu faktor yang turut menentukan berhasil tidaknya bina persepsi bunyi dan irama (BPBI) adalah penggunaan metode dan pendekatan yang sesuai. Bina persepsi bunyi dan irama (BPBI) merupakan bagian tidak terpisahkan dari pelajaran bahasa. Oleh karena itu, sebaiknya digunakan metode yang juga digunakan dalam pelajaran bahasa. Pengajaran bahasa kepada anak tunarungu pada umumnya berorientasi kepada kebutuhan anak. Anak membutuhkan komunikasi secara langsung dengan orang sekelilingnya dengan cara bercakap-cakap. Maka pendekatan “percakapan” merupakan media dalam pelajaran bina persepsi bunyi dan irama (BPBI) yang paling tepat. Beberapa metode yang dapat digunakan, yaitu:
(1) melalui permainan terutama untuk anak pada fase awal pembinaan.
(2) Pemberian tugas, pembelajaran BPBI banyak menuntut melakukan aktivitas sesuai petunjuk guru atau berupa kegiatan dimana anak diberi rangsangan yang perlu direspon dengan perbuatan tertentu, seperti bergerak, bicara, dsb.
(3) Demonstrasi, guru memberi contoh-contoh gerak tertentu.
(4) Observasi/pengamatan terhadap respon anak.

5 Prawicara
Pelatihan Wicara Anak tunarungu Pelatihan wicara merupakan upaya yang dilakukan secara sadar, terencana, dan sistematis untuk mengubah tingkah laku anak agar dapat mengucapkan bunyi-bunyi bahasa, dalam mengkomunikasikan pikiran, gagasan, dan perasaan, dengan memanfaatkan pernapasan, alat-alat ucap, otot-otot, dan syaraf secara integral. Tujuan pelatihan wicara pada anak tunarungu secara umum adalah agar anak memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap dasar untuk berkomunikasi dan berintegrasi dalam kehidupan masyarakat. Tujuan khususnya adalah (a) keterampilan wicara yang jelas, (b) keterampilan membaca ujaran yang ditunjang oleh pendengarannya, (c) sikap berpikir secara oral, (d) pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan mengemudikan, dan mengevaluasi wicaranya sendiri.
Teknik Latihan Prawicara Teknik latihan prawicara ditujukan untuk mengkondisikan kesiapan mental, fisik, dan psikologis anak tunarungu untuk memasuki dunia komunikasi verbal. Dalam tahapan ini, guru melakukan serangkaian aktivitas seperti keterarahwajahan, keterarahsuaraan, dan pelemasan organ bicara. Latihan keterarahwajahan ditujukan untuk melatih kebiasaan dan kepekaan anak tunarungu dalam melakukan komunikasi untuk selalu memandang lawan bicara dengan arah posisi pandang wajah yang benar. Ukuran keterarahwajahan ini ditujukan supaya anak tunarungu dapat dengan mudah memahami bahasa bibir atau gerakan bibir sebagai pusat keluarnya fonem. Latihan keterarahsuaraan dalam pembelajaran pengembangan komunikasi persepsi bunyi dan irama(PKPBI) dimaksudkan untuk melatih kepekaan anak tunarungu dalam mendeteksi dan merasakan arah suara yang keluar. Fokus dalam latihan ini guru melatih secara terus menerus kepada anak untuk menghasilkan, merasakan, dan mengidentifikasi arah suara yang dihasilkan. Biasanya dalam latihan ini, guru dapat menggunakan metode vibrator atau getaran arah suara dengan menempelkan tangan di leher, di mulut, sehingga anak tunarungu dapat merasakan arah suara yang keluar. Latihan pelemasan organ bicara adalah upaya lainnya yang dilakukan oleh guru untuk menstimulasi keberfungsian organ bicara anak tunarungu secaramaksimal.
Latihan prawicara pada umumnya diberikan kepada anak tunarungu usia dini, dengan tujuan untuk melatihan kesiapan organ bicara untuk menghasilkan bunyi suara, melatih teknik berbicara. Dalam prakteknya, implementasi teknik prawicara ini akan efektif jika didukung dengan peralatan, seperti ruang pengembangan komunikasi persepsi bunyi dan irama (PKPBI) yang dilengkapi dengan cermin dengan ukuran lebar, microphone, meja, dan alat rekam bicara. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa latihan pelemasan organ bicara ditujukan untuk menstimulus kesiapan organ bicara dalam menghasilkan bunyi-bunyi suara. Latihan organ bicara dapat mengoptimalkan fungsi rahang, mulut, gigi, dan lidah. Di samping itu juga latihan pelemasan organ bicara bisa dikembangkan ke dalam latihan vokal dan suku kata. Nugroho, B. (2002: 47) mengemukakan beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam latihan pelemasan organ bicara, sebagai berikut:
1. Gerakan bibir dengan cara latihan membuka dan menutup bibir/mulut, membundarkan bibir, meniup harmonika/bola pingpong, membentuk bunyi ”r” yang panjang, misalnya ”berrrr” dengan bibir, membentuk bunyi ”mmmmm”, membentuk bunyi-bunyi vokal, membentuk bunyi ”papapapa”, dan seterusnya.
2. Latihan gerak rahang, seperti membuka dan menutup mulut, rahang digerakan ke kiri dan ke kanan, menguap dengan mulut terbuka dan tertutup, mengunyah dengan mulut tertutup. Tujuan dari kegiatan ini agar otot-otot rahang tidak menjadi kaku.
Latihan gerak lidah, seperti mulut terbuka, lidah keluar masuk mulut, menjilat bibir atas dan bibir bawah, ujung lidah ditekan pada gigi atas dan gigi bawah, lidah dilingkar-lingkarkan.
4. Latihan langit-langit lembut (velum) menguap dengan mulut terbuka, meniup dengan kuat, dan sebagainya.

Latihan lainnya yang dapat dilakukan guru dalam teknik prawicara adalah latihan pernapasan. Nugroho, B. (2002: 18), mengemukakan beberapa aktivitas yang dapat dilakukan anak tunarungu untuk melatih pernapasan, seperti: (1) meniup dengan hembusan; (2) meniup dengan letupan; dan (3) menghirup dan menghembuskan melalui hidung. Nugroho, B.(2002: 48), mengemukakan beberapa aktivitas untuk melatih pernafasan pada anak tunarungu, sebagai berikut:
1. Latihan menghemat nafas. Meniup lilin atau bola pingpong sampai benda-benda itu bergerak-gerak sehingga nafas dirasakan oleh anak, kemudian anak menarik nafas melalui hidung dan mengeluarkan nafas dengan cara meniup. Anak mengucapkan ”papapapa” atau ”mamamama” dan sebagainya dengan tidak memutuskan nafas.
2. Latihan babling. Anak dilatih mulai dari kata yang diucapkan dan menekankan latihan ucapan suku kata, irama suara, dan latihan kontrol suara. Di samping itu latihan kata-kata secara berulang.

Misalnya guru dapat melatihkan keterampilan berikut:
1. Latihan pengucapan suku kata tunggal dalam kelompok fonem: a – da, a – pi, i – kan.
2. Latihan pengucapan dua buah suku kata dengan penekanan pada pengucapan suku kata kedua: a – ku, a – ki, i – bu, a – bu, dan sebagainya.
3. Latihan pengucapan dua buah suku kata diawali huruf konsonan, seperti: pa – ku, pa – pi – pa.

Nugroho, B. (2002: 15), menambahkan bahwa dalam teknik prawicara, guru juga dapat melatih teknik pembentukan suara. Dalam latihan pembentukan suara ini, guru melatih anak tunarungu dengan tujuan untuk:
1. Menyadarkan anak untuk bersuara
2. Merasakan getaran pada dada guru
3. Menirukan ucapan guru sambil meraba dada
4. Melafalkan vokal bersuara
5. Meraban sambil merasakan getaran
Pelatihan wicara
a. Prawicara
Pelatihan keterarahwajahan
Tujuan pelatihan keterarahwajahan agar:
(1) Anak mampu menatap wajah lawan bicara
(2) Anak mampu menatap wajah dirinya sendiri melalui cermin
(3) Anak mampu berkonsentrasi
Langkah-langkah guna mencapai tujuan tersebut adalah:
(1) Guru menciptakan suasana bathin yang empatik, simpatik, dan terbuka bagi anak, sehingga anak merasa nyaman menatap wajah guru.
(2) Guru menciptakan suasana dengan permainan yang menarik, misalnya bermain ci luk ba, saling dorong, lempar tangkap bola, dan lain-lain.
(3) Guru mengarahkan pandangan anak ke cermin agar memiliki kesiapan pelatihan wicara
Pelatihan keterarahsuaraan

Tujuan pelatihan keterarahsuaraan:
(1) Agar anak menyadari adanya suara dengan menggunakan alat bantu dengar
(2) Agar anak mampu bersuara
(3) Agar anak mampu mereaksi suara

Langkah pelatihan keterarahsuaraan, yaitu:
a) Guru mengkondisikan anak memakai headphone
b) Guru memperkenalkan suara melalui microphone
c) Guru menyadarkan adanya suara dengan melihat lampu aksen, merasakan getaran melalui head phone dan dada.
d) Guru menyuruh anak untuk bersuara melalui microphone sambil melihat lampu aksen dan merasakan getaran pada headphone dan dada.
Pelatihan Motorik Mulut

Tujuan pelatihan motorik mulut adalah:
(1) Agar anak mampu membuka dan menutup mulut
(2) Agar anak mampu melemaskan dan menegangkan organ artikulasi
(3) Agar anak mampu mengendalikan organ artikulasi

Langkah-langkah pelatihan motorik mulut, yaitu:
a) Guru memberi contoh membuka dan menutup mulut secara benar, anak menirukan.

Guru memberi contoh menaikkan dan menurunkan ujung lidah dari kiri ke kanan sampai sudut-sudut mulut, anak menirukan.
c) Guru memberi contoh menggerakkan ujung lidah dari kiri ke kanan sampai ke sudut-sudut mulut, anak menirukan.
d) Guru memberi contoh mendorong lidah ke pipi kiri dan kanan, anak menirukan
e) Guru memberi contoh meruncingkan dan melebarkan lidah, anak menirukan.
f) Guru memberi contoh membulatkan dan melebarkan bibir-bibir secara silih berganti dengan mulut tertutup dan terbuka, anak menirukan.
g) Guru memberi contoh mengembungkan pipi, anak menirukan
h) Guru memberi contoh cara mengunyah yang benar, anak menirukan.
i) Guru memberi contoh minum yang benar, anak menirukan
j) Guru memberi contoh menggigit yang benar, anak menirukan
k) Guru memberi contoh menelan yang benar, anak menirukan
Pelatihan pernafasan
Tujuan pelatihan pernafasan
(1) Anak mampu bernafas secara teratur
(2) Anak mampu bernafas secara benar

Langkah-langkah pelatihan pernafasan dengan pernafasan dada dan perut adalah sebagai berikut:
a. Guru menyuruh anak terlentang di meja pernapasan, dan meletakkan beban pada perut anak.
b. Guru menyuruh anak untuk menghirup nafas melalui hidung secara perlahan sehingga beban pada perut anak naik.
c. Guru menyuruh anak menghembuskan nafas melalui mulut secara perlahan sehingga beban pada perut anak turun
d. Guru menyadarkan anak agar pada latihan ke dua dan ketiga bahunya tidak bergerak.
Selain empat langkah latihan pernafasan dapat dilakukan melalui meniup bola pingpong, pianika, terompet, dan sebagainya.
Pelatihan pembentukan suara

Tujuan pelatihan pembentukan suara adalah:
a. Anak mampu mengeluarkan suara yang normal
b. Anak mampu menyadari suaranya sendiri
c. Anak mampu menjadikan suara sebagai bagian dari hidupnya

Langkah-langkah pelatihan pembentukan suara, diantaranya adalah:
1. Guru memberi contoh meraban, anak menirukan, bagi yang tidak dapat menirukan secara spontan, diberi bantuan dengan taktil kinestetis.
2. Guru mengajak anak bermain sambil bersuara, anak mengikutinya
3. Guru mengucapkan vokal secara panjang, anak menirukan sambil melihat lampu aksen
 10. prinsip khusus pembelajaran PKPBI
Prinsip Khusus dalam Pembelajaran PKPBI
a. Prinsip Cybernetika dalam Pembelajaran PKPBI
Prinsip cibernetik menekankan bahwa dalam pembelajaran PKPBI, guru harus mengembangkan komunikasi secara aktif dengan anak tunarungu dalam memadukan bunyi yang dipersepsinya menjadi sebuah konsep yang dapat dikembangkan. Pengembangan konsep bunyi pada anak tunarungu melalui umpan balik, guru dapat memadukan antara bunyi ke dalam gerak dan irama. Misalnya, setelah anak tunarungu mampu mendeteksi bunyi, guru terus memberikan pertanyaan kepada anak, bahwa bunyi-bunyi yang dideteksinya tersebut dapat didiskriminasikan, terus dapat diidentifikasi. Begitu juga setelah anak tunarungu mampu mengidentifikasikan bunyi, guru dapat mengembangkan kemampuan anak untuk memadukan dengan gerakan dan irama, sehingga pada akhirnya anak tunaurungu dapat menikmati gerakan dan irama melalui bunyi-bunyi yang dipersepsikannya.
b. Prinsip Kontras dalam Pembelajaran PKPBI
Prinsip kontras dalam pembelajaran PKPBI mengandung makna bahwa dalam melatih bunyi-bunyian pada anak tunarungu, berdasarkan sifat dari bunyi yang dipersespsikan. Dalam hal ini, guru harus melatih anak tunarungu untuk memperkenalkan bunyi-bunyian secara kontras, seperti bunyi yang keras dengan bunyi yang lemah, bunyi dengan nada yang tinggi dengan bunyi nada yang rendah. Dalam konteks ini, ketika mengajarkan PKPBI, guru harus mampu memberikan berbagai jenis bunyi-bunyian secara variasi dan kontras, misalnya guru mengajak anak tunarungu untuk mendeteksi bunyi meja yang dipukul dengan suara pesawat terbang, suara piano dalam nada yang tinggi dengan nada yang rendah. Prinsip ini membimbing anak tunarungu untuk memiliki persepsi tentang bunyi-bunyian dengan berbagai tingkatannya.
c. Prinsip Individualitas dalam Pembelajaran PKPBI
Prinsip individualitas dalam pembelajaran PKPBI mengandung makna bahwa ketika melaksanakan pembelajaran PKPBI, guru harus mempertimbangkan dan mengakomodir keunikan individu setiap anak tunarungu. Perbedaan derajat kemampuan pendengaran, jenis ketunarunguan, dan peristiwa terjadinya ketunarunguan harus dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan struktur materi, metode, pendekatan, dan penggunaan alat bantu yang digunakan dalam pembelajaran.
d. Prinsip Keterpaduan dalam Pembelajaran PKPBI
Layanan PKPBI adalah layanan khusus yang merupakan suatu kesatuan antara pembinaan komunikasi dan optimalisasi sisa pendengaran untuk mempersepsi bunyi dan irama. Layanan tersebut dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan interaksi dan komunikasi anak yang mengalami hambatan sensori pendengaran dengan lingkungan orang mendengar. Layanan tersebut dapat diberikan secara terpisah maupun secara terpadu.

Tidak ada komentar: