Jawablah sooal-soal tes formatif dibawah ini!
1. Jelaskan siapa yang disebut sebagai individu dengan hambatan pendengaran?
2. Jelaskan perbedaan perolehan komunikasi pada anak mendengar (normal) dengan anak tunarungu!
3. Jelaskan tahapan perkembangan bicara pada anak dengan hambatan pendengaran!
4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan metode MMR ! dan bagaimana langkah-langkah pembelajarannya!
5. Jelaskan teknik dalam latihan prawicara!
6. Jelaskan apa yang dimaksud perdati murni dan bebas, percali, percami, dan komunikasi serempak!
7. Jelaskan tahapan tahapan peningkatan kemampuan pendengaran pada tunarungu (PKPBI)!
8. Jelaskan metode dan pendekatan bina persepsi bunyi dan irama (PKPBI)
9. Gradasi pendengaran dan ketunarunguan merupakan aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam memberikan layanan pembelajaran PKPBI. Jelaskan mengapa hal tersebut merupakan aspek yang harus diperhatikan!
10. Apa yang dimaksud dengan prinsip cibernitas dalam pembelajaran PKPBI?
11. Jelaskan teknik teknik yang dapat dilakukan guru dalam pembelajaran PKPBI!
Jawaban:
1. Tunarungu
Gunawan.
D (2012) Tunarungu merupakan istilah umum untuk menunjukkan kepada seorang yang
mengalami tuli (deaf) dan kekurangan pendengaran (hard of hearing,), yang
disebabkan oleh adanya kerusakan atau ketidak fungsian pada alat pendengaran,
sehingga mengakibatkan perkembangan bahasa terhambat dan memerlukan suatu
pelayanan khusus dalam mengembangkan potensinya.
Moores (1982: 6) dalam Gunawan. D
(2012) mengemukakan orang yang tuli adalah seorang yang mengalami ketidak
mampuan mendengar (biasanya pada tingkat 70 desiBell atau lebih) sehingga akan
mengalami kesulitan untuk dapat mengerti atau memahami pembicaraan orang lain
melalui pendengarannya dengan atau tanpa menggunakan alat bantu dengar.
Sedangkan orang yang kurang dengar adalah seseorang yang mengalami
ketidakmampuan mendengar (biasanya pada tingkat 35–69 desiBell) sehingga
mengalami kesulitan untuk mendengar, tetapi tidakmenghambat
pemahaman bicara orang lain melalui pendengarannya, dengan atau tanpa
menggunakan alat bantu dengar (hearing aid).
Hallahan
dan Kauffman (1991:266) menyatakan. Hearing impairment; a generic term
indicating a hearing disability that may range in severity from mild to
profound it includes the substet of deaf and hard of hearing. A deaf person in
one whose hearing disability precludes successful processing of linguistics
information through audition, with or without a hearing aid. A hard of hearing
is one who generally with use of hearing aid, has residual hearing sufficient
to enable successful processing of linguistics information through audition.
Tunarungu
secara garis besar dibagi dalam dua kelompok, yaitu: tuli dan kurang dengar (hard
of hearing). Dikatakan tuli (deaf) adalah kesulitan mendengar yang
berat sehingga mengalami hambatan di dalam memproses informasi bahasa melalui
pendengaran, baik memakai atau tidak memakai alat bantu dengar (hearing Aid).
Sedangkan orang yangkurang dengar (hard of hearing) biasanya dengan
menggunakan alat bantu (hearing Aid), sisa pendengaran cukup
memungkinkan untuk keberhasilan memproses informasi melalui pendengaran.
Berdasarkan
letak gangguan pendengaran secara anatomis, terdapat tiga jenis ketunarunguan
atas factor penyebabnya
1)
Conductive loss, yaitu ketunarunguan tipe konduktif yaitu ketunarunguan
yang disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada telinga bagian luar dan tengah
yang berfungsi sebagai alat konduksi /menghantar getaran suara menuju telinga
bagian dalam.
2)
Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan yang disebabkan oleh terjadinya
kerusakan pada telinga bagian dalam serta syaraf pendengaran (Nerveus
Chochlearis) yang dapat mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi
ke otak .
3)
Central auditory processing disorder yaitu gangguan pada ocial syaraf
pusat proses pendengaran yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan
memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada
telinga itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pemprosesan pendengaran
ini mungkin memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer,
tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya
.
2. Pemerolehan
Bahasa TR
Perolehan
bahasa yang terjadi pada anak mendengar menurut Myklebust (1963) dalam Bunawan
& Yuwati (2000) yaitiu:
Bahasa anak yang
mendengar berawal dari adanya pengalaman atau situasi bersama antara bayi dan
ibunya atau orang lain yang berarti dalam
lingkungan terdekatnya. Melalui
pengalaman tersebut, anak ”belajar” menghubungkan pengalaman dengan lambang
bahasa yang diperoleh melalui pendengarannya. Proses ini merupakan dasar
berkembangnya bahasa batini (inner
language). Setelah itu, anak
mulai memahami hubungan antara lambang bahasa dengan benda atau kejadian yang
dialaminya sehingga terbentuklah bahasa reseptif anak. Dengan kata lain
anak memahami bahasa lingkungannya (bahasa reseptif auditori). Setelah bahasa
reseptif auditori ”sedikit” terbentuk, anak mulai mengungkapkan diri melalui
kata-kata sebagai awal kemampuan bahasa ekspresif auditori atau berbicara.
Kemampuan itu semua berkembang melalui pendengarannya (auditori).
Setelah anak memasuki usia sekolah, penglihatannya berperan dalam perkembangan
bahasa melalui kemampuan membaca ( bahasa reseptif visual) dan menulis (bahasa
ekspresif visual).
Myklebust
(1963) dalam Bunawan & Yuwati (2000) mengembangkan pola pemerolehan bahasa pada anak dengan
gangguan sensori pendengaran berdasarkan proses pemerolehan bahasa pada
anak mendengar. Ia menerapkan pencapaian perilaku berbahasa yang telah
dijelaskan anak dengan gangguan pendengaran. Berhubung pada masa itu teknologi pendengaran
belum berkembang, maka anak tersebut dipandang tidak/kurang memungkinkan
memperoleh bahasa melalui pendengarannya. Oleh karena itu sistem lambang diterima anak melalui visual, taktil kinestetik, atau
kombinasi keduanya, melalui isyarat, membaca, dan membaca ujaran. Membaca
ujaran dipandang pilihan yang tepat dibanding isyarat dan membaca. Dengan
kemajuan teknologi pendengaran saat ini, maka sisa pendengarannya dapat
dioptimalkan untuk menstimulasi anak gangguan pendengaran dalam perolehan
bahasa. Apabila membaca ujaran menjadi dasar pengembangan bahasa batini anak
dengan hanbatan sensori pendengaran, maka anak dapat dilatih untuk
menghubungkan pengalaman yang diperolehnya dengan gerak bibir dan mimik
pembicara. Bagi anak kurang dengar yang
menggunakan alat bantu dengar, dilatih untuk menghubungkannya dengan lambang
bunyi bahasa (lambang auditori). Setelah itu, anak mulai memahami hubungan
antara lambang bahasa (visual & auditori) dan benda atau kejadian
sehari-hari, sehingga terbentuklah bahasa reseptif visual/auditori. Sama halnya seperti anak mendengar, kemampuan
bahasa ekspresif (bicara) baru dapat dikembangkan setelah memiliki kemampuan
bahasa reseptif. Selanjutnya anak dapat mengembangkan kemampuan bahasa reseptif
visual (membaca) dan bahasa ekspresif visual (menulis). Demikian perilaku
bahasa verbal yang dapat terjadi pada anak gangguan pendengaran.
Perolehan
Bahasa pada Anak Mendengar (Normal)
Proses
perolehan atau perkembangan komunikasi (bahasa bicara) secara umum diperoleh
melalui indera pendengaran. Bayi yang lahir normal akan memperoleh pengalaman
berbahasa secara mandiri melalui pengalaman atau situasi bersama antara bayi
dengan ibunya dan orang lain yang berarti baginya dalam lingkungan terdekatnya.
Anak tidak diajarkan kata kemudian diberitahu artinya, melainkan melalui
kebersamaannya dengan bayi tersebut “belajar” atau menghubungkan pengalamannya
(apa yang dilihat) dengan lambang bahasa (apa yang didengar) yang merupakan
dasar bagi perkembangan bahasa bathini (inner language). Seiring dengan
perkembangan usia dan kognitifnya, bayi mulai mengerti/memahami sejumlah
pengalaman dari situasi kebahasaan orang-orang di lingkungan terdekatnya.
Kondisi ini membentuk bahasa memahami-mendengar (reseptif auditori), dimana ia
mulai memahami hubungan antara lambang bahasa dengan benda atau kejadian yang
dialaminya tetapi belum dapat mengucapkannya. Samples (2002) menegaskan bahwa
pada tahap ini bayi sudah memiliki kearifan dan pengalaman, tetapi karena belum
menguasai bahasa, ia belum dapat mengungkapkannya. Myklebust (1963) dalam
Bunawan (2000:41) menggambarkan seluruh proses pencapaian pemerolehan bahasa
hingga perilaku berbahasa verbal. Semakin bertambah usia, organ-organ bicara
sudah siap melakukan koordinasi dan berkonstruksi untuk bicara. Bahasa
ekspresif auditorinya mulai berkembang, artinya anak memahami bahasa lingkungan
(reseptif) dan mengungkapkan dirinya melalui bicara (ekspresif) sebagai respon
dari apa yang dilihat dan didengarnya. Indera penglihatan mulai berperan dalam
perkembangan bahasa setelah anak memasuki usia sekolah, yaitu melalui kegiatan membaca
(bahasa reseptif visual) dan menulis (bahasa ekspresif visual). Kemampuan
membaca dan menulis ini secara bertahap mengantarkannya pada suatu perilaku
bahasa verbal sebagai puncak perkembangan dalam pemerolehan bahasa.
Perkembangan
bahasa pada anak mendengar, ditandai dengan suatu rentang/masa yang simultan.
Pada periode tertentu ia akan mengoceh dan mengucapkan satu kata hingga kalimat
pendek untuk mengkomunikasikan dirinya. Di bawah ini gambar skema tentang
pemerolehan bahasa pada anak mendengar.
Gambar
2. 1: Skema Pemerolehan Bahasa pada Anak Mendengar Sumber:
Myklebust (1978)
Perolehan
Bahasa pada Anak Tunarungu
Seperti
yang diketahui bahwa anak tunarungu kurang/tidak dapat menerima masukan bahasa
karena fungsi pendengarannya kurang/tidak berfungsi secara optimal. Seperti
dikemukakan Heward dan Orlansky (1986) yang dikutip Bunawan (2000:52) bahwa
ketunarunguan merupakan kerusakan sensori yang menghambat seseorang untuk
menerima rangsangan semua jenis bunyi dan suara-suara pembicaraan; anak
tunarungu tidak dapat menggunakan pendengarannya untuk mengerti pembicaraan,
walaupun sebagian suara dapat diterima baik dengan apapun tanpa alat bantu
dengar. Perolehan bahasa pertama atau bahasa ibu pada bayi umumnya melalui indra
pendengaran (bahasa reseptif) dan mengekspresikannya secara lisan. Sedangkan
para bayi tunarungu akan berceloteh dan mengungkapkan kata-kata ibu serta orang
lain di lingkungan terdekatnya serta kejadian tentang suatu ditangkap melalui
indera visual. Oleh karena itu, bayi tunarungu lebih menggunakan indera visual
untuk mengamati suatu objek. Kemudian si ibu akan merespon dan bicara mengenai
hal uang diamatinya bersama, namun ujaran si ibu tidak dapat didengar dan
interaksi tidak terjadi. Hal ini mengakibatkan bahasa batin bayi tunarungu
bukan merupakan lambang bahasa melainkan merupakan lambang visual dari
pengalaman sehari-hari atau berupa bentuk ujaran atau berupa pengkodeanlainnya
(gesti/isyarat). Myklebust dalam Bunawan (2000:45) menggambarkan seluruh proses
pencapaian bahasa hingga perilaku berbahasa verbal anak tunarungu.
Gambar 2. 2:Skema Pemerolehan
Bahasa pada Anak Tunarungu Sumber: Myklebust
(1978)
Berdasarkan dua gambar
di atas tentang pemerolehan bahasa pada anak mendengar dan anak tunarungu, maka
terdapat beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah bahwa pada
keduanya akan menuju kepada adanya suatu perilaku bahasa verbal dan
sebagai titik acuannya adalah pengalaman yang dibangun sejak lahir melalui
lingkungan terdekat anak. Dalam proses
perkembangan bahasa, lingkungan menjadi faktor yang penting disamping faktor
keturunan dan kematangan dari masing-masing anak.Semakin lingkungan memberikan
stimulus positif, maka anak akan meresponnya akan lebih baik. Persamaan lainnya adalah pada saat
lingkungan terdekat memberikan pengalaman-pengalaman yang positif, maka pada
struktur kognisi anak akan mampu mempersepsi, menghubungkan (mengasosiasikan) dan
mengorganisasi-kan stimulus yang ada menjadi pengalaman-pengalaman batin yang
pada saat-saat tertentu pengalaman tersebut akan diekspresikan. Perbedaannya
adalah bahwa ketika memasuki fase dimana
kemampuan reseptif atau menerima sebagai modal dasar untuk memasuki fase
selanjutnya, artinya bahwa anak
tunarungu tidak mendapatkan feedback atas apa yang didengar seperti
yang terjadi dalam perkembangan bahasa pada umumnya. Maka pada anak tunarungu kemampuan menerima atau memahami simbol-simbol yang ada, dia
tafsirkan lebih banyak melalui sensori visualnya. Pada anak tunarungu kemampuan tersebut akan dikompensasikan melalui
kemampuan ekspresif kinestetik berupa isyarat atau gestee. Inilah yang akan
melahirkan komunikasi secara manual (isyarat) alami berdasarkan
kesepakatan-kesepakatan antara anak dengan lingkungan terdekatnya. Pemerolehan
bahasa pertama atau bahasa ibu pada anak tunarungu dapat dikategorikan menjadi:
(1) yang memiliki orangtua tunarungu akan berkomunikasi dengan menggunakan
media isyarat; (2) yang memiliki orangtua mendengar dan atau tunarungu akan
berkomunikasi dengan menggunakan media isyarat dan oral, (3) yang memiliki
orangtua mendengar dan berkomunikasi dengan menggunakan media oral.
Keterbelakangan pemerolehan bahasa pada bayi tunarungu dari keluarga mendengar
ini salah satunya disebabkan oleh terhentinya interaksi antara ibu dan bayi
karena ibu tidak dapat menangkap pesan komunikasi bayi ataupun sebaliknya;
ungkapan-ungkapan ibu tidak mendapat respon yang baik dari bayinya sehingga
komunikasi tidak berjalan dengan baik. Dalam konteks ini kemampuan atau
keterampilan membaca ujaran perlu dikembangkan meskipun memiliki banyak
kelemahan. Bila membaca ujaran diajarkan sebagai dasar pengembangan bahasa batini,
maka bahasa bathini anak tunarungu akan terdiri dari kata-kata seperti yang
tampil pada gerak dan corak bibir sebagai pengganti bunyi bahasa berupa vokal,
konsonan, dan intonasi pada anak yang mendengar. Hal ini menuntut ibu atau
orang dewasa menjalin pengalaman bersama dengan anak tunarungu dan membahasakan
semua tatapan, gerak-gerik, atau kejadian apapun di lingkungannya seperti
kepada anak yang mendengar, sebagai dasar perolehan bahasa batin dan bahasa
reseptifnya.
Setelah itu kemampuan
bahasa lainnya akan berkembang sebagaimana layaknya pada anak mendengar
meskipun terdapat pengalihan sensasi; dari auditif menjadi visual dan
kinestetik. Berikut ini adalah penjelasan secara lebih rinci tentang perbedaan
perolehan bahasa pada anak mendengar dan anak tunarungu. Pada bayi mendengar,
proses perantara perkembangan bahasanya sudah memiliki dorongan untuk meniru,
sikap tanggap dan peran ganda, daya ingat jangka pendek dan panjang, daya
sistematisasi, dan daya refleksi coba-coba. Pada anak tunarungu, semua itu tidak
dialami, bahasa yang berkembang adalah bahasa reseptif visual dan bahasa
ekspresif melalui percakapan sederhana. Sementara pada anak dengar (normal),
bahasa reseptifnya sampai pada tahap membaca dan bahasa ekspresifnya sampai
pada tahap menulis. Perkembangan bahasa anak dengar dengan anak tunarungu
berbeda. Saat anak dengar berada pada tahap reseptif auditori, anak tunarungu
mengerti mengerti bahasa lingkungannya melalui bahasa reseptif visual.
Kemudian, ketika anak mendengar berada pada tahap ekspresi auditori (melalui
bicara), anak tunarungu melalui bahasa ekspresif kinestetik (merasakan getaran,
gerakan, tetapi masih dikontrol oleh visual dan anak dapat mengucapkan contoh
benda yang dilihatnya. Misalnya anak melihat bola, lalu mengucapkan „b-o-l-a”) .
Ketika
anak mendengar sudah mencapai tahap bahasa reseptif visual (menangkap
lambang/simbol suatu benda, dapat langsung membahasakannya. Contoh anak melihat
simbol Mc.Donald fastfood, anak sudah dapat menangkap dan memahami
simbol tersebut). Sedangkan pada anak tunarungupada tahap bahasa reseptif
visual, baru dikenalkan pada simbol bacaan dibantu dengan visualisasi yang
konkret. Ketika anak mendengar (normal) mencapai bahasa ekspresif visual,
mereka sudah dapat mengekspresikan lambang-lambang visual lewat tulisan.
Sedangkan pada anak tunarungu, apa yang diucapkan baru ditulis dengan
simbol-simbol bahasa. Hingga akhirnya anak tunarungu mengerti apa maksud dari
tulisannya. Lebih jelasnya lagi perkembangan atau perolehan bahasa anak
mendengar dan anak tunarungu dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. 1: Perolehan Bahasa Anak Mendengar dan Anak
Tunarungu Percakapan tak tergantung orang lain
|
-
Bahasa reseptif (melalui membaca dan mendengar cerita)
-
Bahasa ekpresif (melalui bercakap/menulis karangan
|
-
Bahasa reseptif (melalui membaca ideovisual, membaca transisi)
-
Bahasa ekpresif (melalui bercakap-cakap)
|
|
Kemampuan
keterampilan yang diperoleh
|
Bahasa
ekspresif (bercakap secara aktif)
|
Bahasa
ekspresif (bercakap sederhana)
|
|
Bahasa
reseptif (memahami pembicaraan lingkungan)
|
Bahasa
reseptif (memahami percakapan lewat membaca ujaran, memahami bacaan secara global
intuitif (dalam membaca ideovisual)
|
||
Proses
perantara perkembangan bahasa yang tidak dapat diamati
|
1.
Dorongan meniru
2.
Conditioning; klasik dan operant
3.
Sikap tanggap dan peran ganda
4.
Daya ingatan jangka pendek dan jangka
|
||
3. Tahapan
Perkembangan bicara TR
Tahapan
perkembangan bicara menurut Berry dan Eisenson (1975) adalah sebagai berikut:
1)
Reflek vokalisasi (Reflective
Vocalitation)
Tangis
kelahiran bayi berlangsung sampai dengan umur dua minggu. Pada fase ini bayi
hanya mampu mengeluarkan suara-suara refleks dan belum bisa membeda-bedakan
meskipun rangsangan berbeda-beda. Selanjutnya mulai minggu ke tiga, tangis dan
bunyi-bunyi refleks sudah dapat dibedakan sesuai dengan rangsangan. Tangisnya
sudah bermakna sehingga dapat dibedakan antara tangis sakit dan tangis lapar
atau tangis manja.
2) Meraban (babbling)
Tahap ini ditandai dengan
kemampuan membuat berbagai bunyi yang berlangsung pada usia dua sampai tiga
bulan. Bayi suka bermain-main dengan suaranya sendiri seperti orang berkumur.
Bunyi-bunyi tersebut masih bersifat refleks belum membentuk vokal dan konsonan.
Yang jelas bunyi-bunyi tersebut dibunyikan berulang-ulang dan secara tidak
langsung merupakan latihan bagi otot-otot bicara.
3) Laling (Lalling)
Tahap ini disebut juga tahap adaptasi suara atau self
imitation. Tahap ini berlangsung pada usia lima sampai tujuh bulan. Pada tahap
ini pendengaran mulai berfungsi dan bayi sudah menyadari akan suara-suara yang
dibuatnya, mengamati bunyi dan lingkungan dan bunyi-bunyi bicaranya sendiri.
Fungsi sensoris pendengaran dan motoris dalam hal mengeluarkan suara-suara
mulai berkembang secara terpadu. Pengulangan bunyi bicaranya sendiri sudah
mulai berbentuk vokal dan konsonan yang lebih teratur. Tahap ini merupakan
tahap penting dalam perkembangan bicara. Tahap selanjutnya diikuti dengan
perkembangan mental, sosial dan emosi. Hal ini dapat diamati dari suara-suara
yang berbeda bila ia menerima, menolak, atau meminta sesuatu dari
lingkungannya.
4)
Echolalia
Periode ini berjalan antara usia sembilan sampai sepuluh
bulan. Mula-mula mencoba suara-suara lingkungannya yang didengarnya,
suara-suara tersebut merupakan rangsangan awal yang kemudian ditirunya. Atas
dasar peniruan suara-suara tersebut bayi sudah mampu mengucapkan satu simbol
untuk satu pengertian secara lengkap meskipun ucapannya belum jelas. Misalnya
“a” untuk “bola”, “num” untuk “minum”, dansebagainya.
5)
Bicara sebenarnya (True Speech)
Merupakan tahap bicara sejati yang dimulai usia dua belas
bulan sampai delapan belas bulan. Pemahaman terhadap kata-kata sudah lebih
banyak dikuasai walaupun ucapannya belum sempurna. Bahasa pasif (reseptif)
lebih cepat berkembang dibanding dengan bahasa aktif (ekspresif). Kata-kata
yang diucapkan terdiri dari dua suku kata, misalnya “pa”, “ma”, “pa-pa”,
“ma-ma”. Pada tahap ini anak sudah mampu mengucapkan simbol-simbol yang sesuai
dengan makna yang sebenarnya. Misalnya “mi-mi” untuk simbol makna “minum”.
Dengan bunyi permainannya semakin merangsang anak sehingga
variasi irama semakin berkembang. Dengandemikian maka
periode ini anak terus menerus berlatih mengeluarkan fonem-fonem yang telah
dikuasainya dengan berbagai kombinasi dan variasi. Pengulangan suku kata dengan
jelas sudah nampak pada akhir bulan ke sembilan. Anak sudah mampu merangkaikan
dua suku kata yang sama dengan ucapan yang jelas. Pengucapan suku kata ini
diucapkan dengan cara tersentak-sentak, hal ini dianggap sebagai permulaan
pembentukan kata., misalnya “da-da ma-ma” atau “da-da pa-pa”. Pada akhir bulan
ke sepuluh anak mulai dapat berdialog menirukan suku kata yang sudah dikuasai
dengan lafal yang tepat. Akhir bulan ke sebelas anak sudah berada pada tahap
pemahaman suatu konsep, hanya saja satu lambang ujaran kadangkala masih
melambangkan satu atau lebih simbol, terutama simbol-simbol yang baru
dikenalnya. Misalnya ujaran “aju” untuk simbol “baju” atau “celana”. Pada akhir
bulan ke dua belas, perkembangan bicaranya sudah lebih baik lagi dengan pola
pengucapan yang menuju ke arah kesempurnaan.
Perkembangan
Bahasa dari Sejak Lahir sampai dengan Usia 6 Tahun
Tabel 8. 1
Pengembangan Bahasa (M.F. Berry & John Eisenson, 1970;
L. Nicolosi & Colins, 1989) Usia
|
U r a i a n
|
||
0 – 1,5 bln 1 bln 1,5 bln
|
Tahap 1; Reflexive
Vocalization
a. Tangis tidak berbeda
b. Tangis berbeda
|
||
1,5 – 6 bln
|
Tahap 2; Babbling (ngoceh)
a. Bunyi seperti kumur-kumur (gurgels)
b. Bunyi mirip a, i, u, e, o
Durasi kenyaringan berbeda-beda
c. Bunyi mirip p, b, g + mirip
vokal a = pa, ba, ga.
(homogen) en, en, en
d. a s/d c, bersifat reflex
|
||
6 – 9 bln
|
Tahap 3; Lalling (ngoceh)
a. Bunyi kombinasi mirip +
vokal = b = gup, gup
(kombinasi butir 2c) atau =
bunyi heterogen
b. Pendengaran mulai berfungsi
(S14) ???
|
||
9 – 12 bln
|
Tahap 4; Echolalia (meniru)
a. Mengulang suku kata, mirip
kata
b. Menggunakan ekspresi wajah
(T3)
c. Menggunakan tangan dan
lengan (T2)
d. Tahap ini belum faham …
|
||
12 – 18 bln
|
Tahap 5; True Speech (bicara
benar)
a. Paham obyek, aktivitas
b. Pengujaran yang belum
sempurna artikulasinya, tetap mempunyai satu makna bagi anak.
c. Mengenal salah satu bagian
tubuhnya.
d. Mampu merespon; dah, dah.
e. Perbendaharaan bahasa 5 – 6
kata. (terlalu sedikit;tergantung stimulasi); 1 kalimat terdiri atas 5-6 kata
|
||
Usia
|
Reseptif/Pemahaman
|
Ekspresif/Pengujaran
|
|
18 – 24 bln
|
a. Mengenal identitas tiga
bagian tubuh.
b. Mengenal identitas lima
bagian tubuh.
c. Paham perintah sederhana;
ambil bola.
d. Paham larangan sederhana;
tidak boleh.
e. Mengenal benda yang menjadi
miliknya.
f. Mengenal orang-orang yang
sering ditemui.
g. Mengenal binatang
peliharaan.
|
a. Panjang kalimat 1,5 kata.
b. Perbendaharaan bahasa 10-20
kata (18 bln), 200 kata (24 bln), 50% kata benda (18 bln) 39% kata kerja (24
bln)
c. Kombinasi 2-3 kata; bola
saya, bola saya baru.
d. Mulai muncul kata sifat;
bagus, jelek, panas, dingin.
e. Mulai menggunakan imbuhan;
diambil.
f. Mulai menggunakan kata
kerja; lihat, mau, pergi.
g. Mulai menggunakan frase
kalimat.
h. Mulai muncul kata ganti;
saya, kamu.
i. Banyak peniruan kata.
j. Mulai menggunakan ungkapan
tetap; jangan menangis, hati-hati.
|
|
2 – 3 thn
|
a. Paham dan mampu memperagakan
beberapa kata aktivitas dari gambar tertentu.
b. Paham kata benda yang
mengacu pada manusia (keluarga); ayah, ibu, kakek, nenek, kakak, adik.
c. Paham kata yang mengacu pada
tempat; di dalam, di luar, di bawah.
d. Paham tentang jumlah banyak,
sedikit.
e. Dapat menyimak cerita
sederhana.
f. Paham objek dan
penggunaannya.
g. Paham lawan kata;
datang-pergi, lari-jalan, memberi-meminta.
h. Paham beda makna dan posisi
kata benda; mobil didorong truk, truk didorong mobil.
i. Paham struktur kalimat. Paham
ukuran-ukuran.
|
a. Mampu mengujarkan obyek-obyek
yang ada di lingkungannnya.
b. Pengaruh yorgon berkurang
c. Jumlah perbendaharaan bahasa
sebanyak 200-300 kata, dengan perbandingan; kata benda 38,6%: kata kerja 21%
: kata keterangan 7,1% : kata ganti 14,6%.
d. Mampu bertanya sederhana
(sifatnya masih ego sentris); dimana bola?
e. Mampu menyebutkan namanya
dengan lengkap.
f. Mampu mengucapkan, tanpa
sintaksis yang benar; lihat saya jangan.
g. Mampu menggunakan kata
sambung dan; ibu dan bapak.
|
|
3 – 4 thn (KB/PG)
|
a. Terjadi peningkatan dalam
keterampilan menyimak dan mulai mempelajari dari hasil menyimak.
b. Paham 1500 kata-kata.
c. Paham semua kalimat dan
kalimat majemuk.
d. Paham tentang sikap/tingkah
laku sosial melalui percakapan.
|
a. Mampu mengucapkan 900-1500
kata-kata.
b. Rata-rata panjang kalimat 3
kata.
c. 90-100% dari kontak bicara
biasanya bida dimengerti, namun masih ada gangguan struktur kalimat.
d. Mampu melanjutkan percakapan
yang panjang.
e. Dalam bicara suka mengkritik
dan merasa lebih tahu/berkuasa.
f. Terjadi kematangan
penggunaan kata kerja, penggunaan kalimat perintah, dan kalimat penegasan.
g. Mampu menggunakan pertanyaan
dengan kata, apa, mengapa, dimana, bagaimana.
h. Mampu menggunakan kata ganti
orang; kami.
|
|
4 – 5 thn (TK “A”)
|
a. Paham 1500-2000 kata-kata.
b. Paham perintah dengan 3
perbuatan.
c. Paham kata penghubung; jika,
sebab, kapan, mengapa.
|
a. Mampu mengucapkan hampir
2000 kata-kata.
b. Rata-rata panjang kalimat
3-4 kata.
c. Bahasa yang digunakan sudah
lengkap (bentuk dan susunan)
d. Mampu menggunakan kata
penghubung.
e. Mampu mengisahkan suatu
cerita tentang diri-sendiri atau lingkungan dengan diberi sedikit rangsangan.
|
|
5 – 6 thn (TK “B”)
|
a. Paham 2500-2800 kata-kata.
b. Paham benar terhadap
kalimat-kalimat yang lebih sulit, namun masih bingung mengenai waktu yang
tersirat dalam kalimat; besok, sekarang, kemarin, lusa.
|
a. Mampu mengucapkan 2500
kata-kata.
b. Rata-rata panjang kalimat
5-6 kata.
c. Mampu menggunakan semua kata
ganti dengan benar dan mantap.
d. Mampu menggunakan kata sifat
komparatif; besar-lebih besar-terbesar, nyaring-lebih nyaring-ternyaring.
e. Mampu menjawab telepon dan
bercakap-cakap.
f. Mampu menceritakan
cerita-cerita khayal.
g.
Mampu menggunakan kata depan; di, ke, dari.
|
|
4. MMR
Tujuan
dari MMR adalah:
a.
Agar anak tunarungu dapat semakin bersikap oral
b.
Agar anak tunarungu dapat dan suka mengungkapkan ide, gagasan, pikiran, dan
curahan hati
c.
Agar anak tunarungu dapat dan suka membaca sendiri
d.
Agar anak tunarungu dapat berkomunikasi dengan teman sebayanya yang
berpendengarannya normal
Perkembangan
penguasaan bahasa dan kemampuan berbahasa anak tunarungu yang menggunakan MMR
bersumbu pada percakapan. Setiap hari kita sering berbicara satu sama lain,
begitu pula dengan mereka. Dalam MMR ini yang terpenting adalah percakapan
dimulai dengan seorang anak, kita menangkap maksud atau pernyataan anak
tersebut, lalu menafsirkan pernyataan dengan cara bertanya. Apabila ada anak
salah mengucapkan fonem dan kalimat, kita berusaha membetulkannya. Usahakan
kita sering bertanya, mengundang, mangajak, menentang, bahkan berdebat untuk
menimbulkan reaksi spontan dari anak ini sehingga percakapan ada lanjutannya.
Percakapan ini akan menghasilkan anak tersebut dapat bersikap oral dengan
lancar, artikulasinya jelas, dan berani bergaul, serta mencapai kemampuan
berbahasa yang maksimal.
Secara
garis besar, kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ini terdiri atas
kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak, membaca dan menulis yang
dikemas secara terpadu dan utuh. Dengan ini anak memahami dan dapat menemukan sendiri
kaidah-kaidah percakapan.
Menurut
Maria Susila Yuwati (2000: 12) komponen metode maternal reflektif adalah :
1)
Wicara
Semua
anak tunarungu harus diberi kemungkinan untuk mengembangkan bicaranya. Dalam
penerapan komtal guru/ orang tua sebanyak mungkin berkomunikasi dengan
berbicara kepada anaknya dan diberi latihan bicara secara intensif.
2)
Membaca ujaran
Kemampuan
membaca ujaran harus sedini mungkin dikembangkan pada anak, antara lain dengan
selalu berkomunikasi melalui bicara maupun isyarat secara simultan.
3)
Membaca dan menulis
Membaca
dan menulis memegang peran penting dalam berkomunikasi bagi anak tunarungu.
Sejak kecil anak diberi lambang tulisan, missalnya dalam kombinasi gambar atau
situasi yang dialami.
4)
Sistem isyarat bahasa Indonesia
Sistem
isyarat Bahasa Indonesia adalah alat komunikasi gerakan-gerakan tangan yang
disusun secara sistematis dan berfungsi mewakili bahasa Indonesia, berdasarkan
kosa kata dasar Bahasa Indonesia yang berlaku pada saat ini.
5)
Sistem ejaan jari
Ejaan
jari Indonesia dibentuk dengan tangan atau posisi jari tertentu untuk
menggambarkan huruf-huruf abjad, tanda baca dan kosa kata bahasa lisan yang
belum memiliki isyarat.
6)
Mendengar
Kemampuan
yang masih dimiliki anak tunarungu dalam menangkap dan menghayati bunyi harus
dimanfaatkan seoptimal mungkin. Karena itu dalam penerapan komtal diberikan
bina persepsi bunyi dan irama, sehingga anak dapat mengembangkan kemampuan
berbahasa.
Widyatmiko
S.A (2003: 4) komponen-komponen MMR antara lain:
a.
Gesti/ isyarat dengan atau tanpa ekspresi wajah
b.
Suara/ bunyi yang bermakna
c.
Bunyi/ suara yang merupakan lambang, kata bunyi bahasa
d.
Bicara
e.
Menulis
f.
Gambar
7. Tahapan peningkatan
kemmapuan PKPBI
Tahapan-Tahapan
Peningkatan Kemampuan Pendengaran:
a. Deteksi
Untuk
mengetahui ada atau tidaknya bunyi dilakukan dalam permainan, dimana anak-anak
belajar memberi jawaban terhadap bunyi yang ia dengar. Frekuensi vocal yang
mudah seperti (oo), yang sedang (ah) dan (brem-m-m), lebih mudah dideteksi oleh
anak-anak, oleh karena mereka sering mendengar bunyi-bunyi konsonan tersebut,
kemudian dilanjutkan dengan bunyi-bunyi konsonan (m-m-m), (b-b-b) dan bisikan
(baa), maka akan menambah pengenalan pendengaran.
b. Diskriminasi
Membedakan
bunyi dalam hal kualitas, intensitas, durasi dan nada. Apabila anak-anak keliru
dalam berkata, maka mereka harus belajar membedakan bunyi dulu.
c. Identifikasi
Bila
anak-anak itu mulai menggunakan perkataan yang bermakna, maka orang tua dapat
menambah bagaimana pendengaran anak tersebut dalam pembendaharaan katanya
melalui permainan/aktivitas sehari-hari.
Pemahaman
Dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan, bercerita dan memberikan lawan kata.
Berdasarkan
gambaran tentang penjelasan program pengembangan komunikasi persepsi bunyi dan
irama (PKPBI) dengan berbagai komponennya, maka tahapan program pengembangan
komunikasi persepsi bunyi dan irama (PKPBI) dapat dibuat kesimpulan dalam
bentuk tabel di bawah ini.
Tabel
4.2 Program PKPBI Tahap
|
Sasaran
|
Tujuan
|
Materi
|
Deteksi
|
Ada
atau tidak adanya bunyi latar belakang; bunyi benda dan musik; bunyi bahasa
|
Mendeteksi
bunyi nada tinggi /rendah; bunyi benda, musik nada tinggi/rendah;
|
Bunyi
alam, bunyi binatang, bunyi yang dihasilkan manusia
|
Diskriminasi
|
Membedakan
macam-macam sifat bunyi bahasa
|
Mendeteksi
persamaan atau perbedaan (persepsi) antara pola ujaran.
|
Bunyi
panjang-pendek, Tinggi-rendah Keras-lemah Cepat-lambat
|
Identifikasi
|
Mendengarkan
bunyi bahasa yang diucapkan guru, lalu mengidentifikasikan dengan benda,
gambar atau tulisan
|
Menerapkan
label-label terhadap rangsangan ujaran yang dapat dibedakan
|
Fonem,
suku kata, kata-kata, kelompok kata atau kalimat.
|
Komprehensi
|
Anak
yang telah mampu mengidentifikasi lebih dari 50% materi/stimulus
|
Memahami
arti atau makna stimulus yang diucapkan
|
Dimulai
dari perbendaharaan bahasa yang telah dimiliki anak, berupa pertanyaan yang
harus dijawab, perintah yang harus dilaksanakan, lawan kata, dan
interpretasi.
|
Latihan-latihan
yang dapat dilakukan guru, diantaranya adalah :
1.
Pengenalan
berbagai bunyi dan sumber bunyi
Dalam kegiatan ini anak
dikenalkan dan disadarkan pada benda atau alatyang dapat menimbulkan
bunyi-bunyi di sekitar anak. Terutama bunyi-bunyi yang banyak menimbulkan
getaran seperti: tambur, gong, tape, rebana, dll.
Alasan memilih alat-alat tersebut
adalah karena pada tahap awal, anak baru dikenalkan bunyi-bunyi tadi melalui
getaran yang dirasakan oleh anak dengan jalan meraba sumber bunyinya. Kemudian
anak juga harus dapat merasakan ada getaran atau tidak pada sumber bunyi yang
dipegangnya. Contoh: penggunaan tape recorder sebagai sumber bunyi.
Tape dihidupkan dengan keras dan anak diajak meraba salon/pengeras suara untuk
merasakan getarannya.
Setelah anak dapat merasakan getaran pada salon, tape recorder lalu dimatikan
dan anak merasakan getaran pada salon tidak ada lagi. Demikian berganti-ganti
dihidupkan lalu dimatikan secara berulang-ulang sehingga anak bisa membedakan
betul ada getaran atau tidak.
Bila anak merasakan getaran pada salon, baru kami katakan “ada bunyi tape
recorder”. Kalau getaran hilang, kami katakan “tidak ada bunyi tape recorder”.
Ini dilakukan baik secara individual maupun dalam kelompok kecil dalam tempo
yang cukup lama.
2.
Latihan
membedakan ada dan tidak ada bunyi
Pada
kegiatan ini digunakan satu sumber bunyi dalam satu kesempatan latihan. Untuk
mengetahui anak dapat menangkap bunyi atau tidak, maka ia diminta untuk
bereaksi bila menangkap bunyi, dan anak harus diam atau tidak melakukan apa-apa
bila tidak menangkap bunyi.Contoh:
Anak harus melompat ke dalam lingkaran bila mendengar bunyi tambur.
Atau anak harus menggoyang-goyangkan tangannya di atas kepala bila mendengar
bunyi bel.
Anak boleh menari bila ada bunyi tape recorder, dan diam bila bunyi tape
recorder tidak ada.
Seterusnya dilakukan kegiatan
yang hampir sama untuk bunyi-bunyi yang lainnya, hanya diberikan variasi
permainan atau kegiatan agar anak tidak merasa bosan.
3.
Latihan
membedakan sumber bunyi
Latihan
ini diberikan agar anak lebih berkonsentrasi pada sisa pendengarannya supaya ia
dapat mengetahui bunyi apa yang didengar atau ditangkapnya.Contoh: sumber bunyi
yang digunakan adalah tambur dan bel. Pelaksanaannya bisa individual atau
kelompok.
Anak harus menyebut nama sumber bunyi yang didengarnya, sedangkan bunyi-bunyi
itu akan diperdengarkan secara bergantian pada anak.
Atau anak melakukan gerakan yang berbeda, seperti gerakan melompat bila
mendengar bunyi tambur dan mengangkat tangan sambil digoyangkan bila menangkap
bunyi bel.
4.
Latihan
mengenal berbagai sifat bunyi yang ada di sekitar.
Ada
beberapa macam sifat bunyi, yaitu bunyi itu ada atau tidak ada, bersifat
panjang-pendek bunyi, keras-lembut bunyi, tinggi-rendah bunyi, cepat-lambat
bunyi. 4.1. Latihan membedakan bunyi panjang pendek Alat yang dapat digunakan
adalah alat tiup atau tekan, seperti melodika, pianika, terompet, peluit, atau
organ elektrik.
Guru mengajak anak mengelilingi sumber bunyi
Guru menekan atau meniup alat musik dengan bunyi panjang: “tuuuut”. Kemudian
guru segera memberi istilah “anak-anak mendengar bunyi panjang”.
Guru menekan atau meniup alat musik dengan bunyi pendek : “tut” dengan jarak
beberapa detik, ulang lagi “tut” dan ulang lagi “tut”. Kemudian guru memberikan
istilah “anak-anak mendengar bunyi pendek”.
Guru dapat mengulangi hal tersebut beberapa kali untuk memberi kesempatan
kepada anak untuk mengatakan panjang atau pendek secara bersama-sama atau
perorangan. Latihan juga dapat diberikan melalui permainan.
5.
Latihan
membedakan bunyi keras lembut
Untuk
melatihnya dapat menggunakan alat musik apa saja, seperti organ listik, drum,
rebana, pianika, melodika.
Guru mengajak semua anak, kemudian guru menugaskan salah satu anak untuk
memukulnya. Apabila pukulannya cukup keras, guru segera mengatakan “uh, bunyi
drum keras, ya!”. Anak disuruh meloncat dengan tangan ke atas, atau bertepuk
tangan kuat-kuat, atau melompat ke depan sambil mengucapkan “pa” keras, atau
anak menggambar garis tebal di papan tulis. Demikian juga sebaliknya, ketika
pukulan lembut, guru menyuruh anak bertepuk lembut atau mengucapkan “pa” lembut
atau anak berbisik kepada temannya, “ssstt”, atau anak menggambar garis tipis
di papan tulis.
Guru dapat menugaskan anak secara bergantian. Untuk lebih menghayati perbedaan
bunyi itu dapat dibarengi dengan ekspresi berbagai gerakan spontan..
6.
Latihan
membedakan bunyi tinggi rendah
Instrumen yang digunakan adalah satu jenis
alat musik (satu timbre), yaitu organ, karena organ mempunyai nada terdiri dari
beberapa oktaf. Guru melatih perbedaan bunyi dengan kontras paling besar,
misalnya beda nada C dan c‟ (jarak 2 oktaf). Sedikit demi sedikit kontras kedua
nada diperkecil/didekatkan, misalnya beda nada c dan g (jarak 5 nada), akhirnya
membedakan dua nada yang sangat dekat jaraknya, misalnya beda c dan d (jarak 2
nada).
Guru mengajak anak mengelilingi organ.
Guru menekan tuts pada nada bas C beberapa detik, lihat reaksi anak. Guru lalu
menekan tuts pada nada c” (c kecil garis 2) beberapa detik, guru melihat reaksi
anak. Guru menanyakan, “sama atau tidak?”. Ulangi hal tersebut beberapa kali
hingga anak dapat mengatakan “tidak sama”. Saat guru menekan nada tinggi, guru
segera memberi istilah bunyi tinggi. Begitu juga sebaliknya, ketika menekan
nada rendah, guru memberi istilah, “anak-anak mendengar bunyi rendah” .
Ulangi
kegiatan ini beberapa kali hingga anak dapat mengatakan bunyi rendah atau bunyi
tinggi melalui berbagai aktivitas multisensori, merasakan resonansi bunyi,
merasakan vibrasi dengan menempelkan telapak tangannya pada organ. Untuk lebih
menghayati perbedaan bunyi itu dapat dibarengi dengan ekspresi berbagai gerakan
spontan.
7.
Latihan
membedakan bunyi cepat dan lambat
Intrumen
yang digunakan sebaiknya alat musik pukul, misalnya drum, rebana, tambur,
kentongan, gamelan.
Anak mengelilingi sumber bunyi (alat musik pukul), guru memukulnya dengan
cepat, selang beberapa detik guru memukul dengan lambat. Guru memukulnya
beberapa kali.
Guru menyuruh anak memukul bergantian, anak-anak lain menirukannya dengan
bertepuk tangan, sambil mengatakan “cepat” atau “lambat”. Atau dengan permainan
menirukan hewan, ketika anak mendengar bunyi cepat, anak menirukan burung
terbang dengan merentangkan tangan sambil berlari. Sebaliknya ketika anak
mendengar bunyi lambat, anak menirukan seekor gajah yang berjalan pelan-pelan.
8.
Latihan
gerak berirama
Gerak
berirama merupakan perpaduan antara latihan mengenal gerak-gerak dasar dan
mengenal irama. Latihan mengenal gerak-gerak dasar (gerak dasar kaki, lengan,
bahu, jari, leher, panggul, mata dan gabungan gerak-gerak dasar) dan mengenal
irama (2/4, 3/4, 4/4, dsb) yang diwujudkan dalam latihan menari yang dasar
geraknya adalah irama tersebut, merupakan dasar bagi anak tunarungu untuk
mengenal gerak berirama akhirnya juga mengarah kepada perbaikan ucapan anak
agar semakin jelas dan berirama.
9.
Latihan
mendengar bahasa.
Dalam
latihan ini anak bisa menggunakan Speech Trainer atau alat bantu dengar (ABD)
anak sendiri dan alat bantu dengar (ABD) kelompok (looping). Kegiatannya
adalah:
Guru mengucapkan kata/kelompok kata yang sudah dikenal atau dikuasai anak
dengan jelas dan cukup keras. Anak diminta mendengarkan tanpa melihat ujaran,
lalu anak diminta mengulangi ucapan tersebut.
Guru menuliskan beberapa kata/kelompok kata yang sudah dikenal, sedangkan anak
diminta mendengarkan melalui speech trainer atau alat bantu dengar (ABD) ucapan
guru, tanpa melihat ujarannya. Kemudian anak disuruh menunjukkan tulisan yang
sesuai dengan ucapannya.
6 perdati , percamsi,
Menurut
jenisnya, percakapan dari hati ke hati (Perdati) dibedakan atas Perdati Murni
dan Perdati melanjutkan informasi
1).
Perdati
Murni atau Perdati Bebas
Disebut perdati murni
karena percakapan berasal dari ungkapan perasaan yang keluar dari lubuk hati
anak sendiri, dan tidak dipengaruhi oleh orang lain. Disebut perdati bebas karena percakapannya masih sangat bebas. Pada
umumnya perdati murni terjadi pada anak tunarunguyang belum mengasai bahasa
sepatah katapun, termasuk juga anak tunarungu yang baru menguasai sepatah atau
dua patah kata sampai penggunaan kalimat yang belum sempurna.
Pedoman
pelaksanaan Perdati Murni :
a)
Guru harus menyimak ucapan atau bunyi meraban yang dikeluarkan oleh anak.
b)
Guru cepat tanggap untuk memahami ucapan atau meraban kemudian mencari makna
ucapan atau meraban anak tersebut. Untuk mengetahui makna ucapan tersebut,
perhatikan gerak-gerik anak, apakah anak mengisyaratkan sesuatu untuk memaknai
apa yanag diucapkannya.
c)
Guru menangkap makna isyarat, gerak-gerik atau suara meraban dan segera
membahasakannya dengan mengucapkan kalimat singkat, jelas dihadapan wajah anak.
Guru
memerankan posisi anak dengan mengucapkan apa yang ingin anak ucapkan.
d)
Guru berperan sebagai lawan bicara anak atau dirinya sendiri dengan cara
menanggapi ucapan yang dimaksud oleh anak.
2)
Perdati Melanjutkan Informasi
Percakapan
diawali dengan adanya informasi, penyampaian berita, pemberitahuan dari
seseorang anak atau guru tentang sesuatu hal yang tidak dialami bersama yang
menyangkut pengetahuan. Pedoman pelaksanaan Perdati Melanjutkan Informasi :
a)
Percakapan atau informasi berasal dari anak.
b)
Guru menyempurnakan dan melengkapi ucapan anak.
c)
Guru memberi motivasi kepada anak lain untuk aktif terlibat dalam percakapan.
d)
Guru menjadi vasilitator aktif agar percakapan terus berlangsung dengan baik
dan dapat difahami oleh semua anak.
Pelaksanaan
Percakapan Membaca Transisi (Percamsi)
Pelaksanaan
percakapan membaca transisi
(percamsi) merupakan suatu percakapan yang membahas mengenai konsep waktu yang bersumber pada bacaan deposit
kelas lain baik kelas paralel maupun kelas yang berada diatasnya atau diambil
dari bacaan deposit yang telah lalu, membaca transisi merupakan jembatan yang
menghubungkan antara kegiatan membaca ideovisual dengan membaca reseptif. Namun
sebelum anak beralih pada membaca
reseptif terlebih dahulu dimantapkan dari segi kesiapan
dalam memahami isi bacaan dan konsep waktu. Sehingga kegiatan membaca transisi
baru diberikan di kelas empat dan tidak akan diberikan dikelas dasar rendah
seperti kelas satu dan dua.
Langkah-langkah
dalam kegiatan percamsi berbeda dengan pelaksanaan perdati baik perdati bebas
maupun melanjutkan informasi. Guru memilih materi bacaan percamsi yang diambil
dari deposit kelas lima yaitu kelas yang satu level lebih tinggi dari kelas
empat. Pelaksanaan percakapan membaca trasnsisi dilaksanakan sesuai dengan
langkah-langkah pelaksanaan percamsi dalam MMR yang memuat dua inti kegiatan
yaitu kegiatan mempercakapkan isi bacaan dan kegiatan mengolah konsep waktu. Melalui pancingan-pancingan pertanyaan yang
provokatif, guru berhasil membuat siswa aktif dan kritis. Walaupun guru
meminjam bacaan dari kelas lima namun, guru tidak menuliskan keseluruhan
deposit bacaan kelas lima tersebut, tetapi guru menyortir kalimat yang
tidakperlu dan menambahkan beberapa kalimat untuk menyempurmakan bacaan
tersebut. Ciri utama dalam kegiatan
membaca transisi yaitu percakapan, identifikasi langsung dan tidak langusng
namun porsinya diperbanyak. Teks bacaan transisi sumbernya bisa diambil dari
bacaan deposit beberapa hari, minggu atau bahkan beberapa bulan yang lalu, juga
dapat dipinjam dari bacaan deposit kelas lain seperti kelas paralel atau dari
kelas yang berada satu tingkat lebih rendah atau lebih tinggi, yang kemmapuan
bahasanya tidak jauh berbeda, selain itu bisa juga diambil dari surat edaran
atau pengumuman sekolah dan lain-lain. Langkah-langkah
dalam pelaksanaan kegiatan membaca transisi yaitu guru menyiapkan dan
menuliskan bacaan transisi tersebut di papan tulis sebelum kegiatan membaca
dimulai. Kemudian anak diberikan kesempatan untuk membaca bacaan tersebut
secara bersama-sama satu sampai dua kali. Siswa dan guru mempercakapkan isi
bacaan dengan memberikan beberapa kunci pertanyaan sebagai pancingan, kegiatan
tersebut sama dengan kegiatan membaca ideovisual. Lalu siswa dan guru mengolah
konsep waktu, dengan memanfaatkan kata keterangan waktu yang terdapat dalam
bacaan, yang kemudian dikaitkan dengan hari, tanggal, dan bulan ketika
pengalaman dalam bacaan tersebut dibicarakan atau dipercakapkan. Selanjutnya dikaitkan
dengan waktu hari ini di mana bacaan tersebut diolah dan dipercakapkan kembali.
Untuk membantu memperjelas konsep waktu kepada anak, guru menyiapkan media
kalender atau menggunakan garis-garis pertolongan untuk menghitung jumlah hari
yang telah berlalu. Setelah bacaan selesai diolah anak mencoba menceritakan
kembali isi bacaan secara singkat berdasarkan konsep waktu yang lampau. Diakhir
kegiatan anak mencatat bacaan beserta hasil pengolahan konsep waktu dalam buku
bahasa kemudian mengerjakan evalusi yang diberikan oleh guru seputar isi bacaan
dan konsep waktu yang telah dibahas secara bersama-sama.
Pelaksanaan
Percakapan Membaca Reseptif (Percatif)
Pelaksanaan membaca reseptif yang hasilnya bahwa
membaca reseptif disebut sebagai tahap
membaca lanjut atau pemahaman dimana siswa belajar memahami isi bacaan yang
menceritakan pengalaman orang lain dan juga disebut sebagai tahap membaca
sebenarnya di dalam MMR. Sumber-sumber
bacaan dalam kegiatan membaca reseptif diambil dari buku bacaan, buku paket,
koran, majalah dan lain-lain.Sebelumsiswa belajar membaca reseptif, semua
siswa harus sudah kenyang pada tahap membaca permulaan atau ideovisual yaitu
membaca kata, kalimat dan cerita pendek hasil percakapan yang isinya masih
seputar pengalaman dirinya. Sehingga
membaca reseptif baru ada di kelas-kelas dasar tinggi seperti kelas enam, tujuh
dan delapan yang kemampuan bahasanya sudah mendekati atau bahkan sudah purna
bahasa. Dalam kegiatan membaca reseptif anak dibimbing agar dapat memahami
isi bacaan tanpa bantuan orang lain, anak sendirilah yang harus mencoba
mengartikan kata-kata atau kalimat serta harus memahami hubungan antara kalimat
satu dengan yang lainnya. Pelaksanaan membaca reseptif terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut: pertama guru mencontohkan membaca seluruh
bacaan tepat dihadapan semua siswa kemudian, siswa diperintahkan untuk
memperhatikan. Setelah selesai membaca, guru memberikan kesempatan kepada semua
siswa untuk mengulang membaca bacaan tadi secara individu di dalam hati.
Setelah semua siswa selesai membaca, guru dan siswa mempercakapkan seluruh isi
bacaan dengan menggunakan beberapa pancingan pertanyaan sehingga anak secara
spontan mau memberikan reaksi berupa tanggapan yang akhirnya akan membuat anak
menceritakan kembali bagian-bagian dari bacaan tersebut dengan kata-katanya
sendiri atau pun kalimat yang ada pada bacaan. Dengan bimbingan guru
diharapkan anak mau mencoba mengartikan kata-kata baru. Apabila terdapat kata
yang membutuhkan penjelasan lebih, guru akan mendemonstrasikan atau bermain
peran dengan anak. Setiap anak diberikan kesempatan untuk menceritakan kembali
isi bacaan dengan kata-katanya sendiri. Setelah kegiatan membaca dan mengolah
bacaan selesai biasanya guru akan memberikan latihan refleksi terhadap aspek
kebahasaan yang terdapat pada bacaan..
Materi refleksi diangkat dari gejala bahasa yang ada
pada bacaan, seperti menjelaskan mengenai makna kata, ungkapan baru, peribahasa
dan lain-lain. Kegiatan terakhir adalah memberikan evaluasi atau pertanyaan
seputar isi bacaan yang telah dibahas dan dipercakapkan. Kegiatan belajar
mengajar difokuskan dalam memahami isi bacaan yang berisi pengalaman orang
lain.Selama kegiatan belajar mengajar guru bertugas membimbing siswa agar dapat
memahami isi bacaan dengan cara memberikan pancingan-pancingan pertanyaan yang
bersifat provokatif sehingga siswa dapat menceritakan kembali pokok-pokok isi
bacaan dengan kata-katanya sendiri.Guru membimbing siswa agar memahami berbagai
macam istilah, ungkapan, pribahasa yang terdapat dalam bacaan dengan pancingan
pertanyaan dan demonstrasi.
Percakapan
Linguistik (Percali)
Kegiatan percakapan linguistik disebut sebagai percakapan tata bahasa reflektif yang
bertujuan agar anak tunarungu semakin berkembang penguasaan bahasanya, terutama
penguasaan terhadap struktur-struktur bahasa secara pasif. Dengan percakapan
linguistik diharapkan anak dapat menemukan sendiri dan menyadari tentang
aspek-aspek kebahasaan dalam suatu bacaan seperti adanya peraturan dan kaidah
dalam bahasa Indonesia. Percakapan linguistik merupakan suatu proses yang
panjang dan merupakan tahap akhir dalam pelaksanaan metode maternal reflektif.
Percakapan linguistik merupakan kelanjutan dari
proses refleksi yang selalu diberikan setelah proses bercakap dan membaca. Oleh karena itu percakapan linguistik disebut
sebagai kegiatan refleksi besar karena pelaksanaannya memiliki jam khusus serta
materi yang lebih kompleks namun materi tetap bertitik tolak dari bacaan hasil
percakapan. Ciri dari percakapan
linguistik adalah anak sendirilah yang harus menyadari dan menemukan
tentang aspek-aspek kebahasaan yang terdapat pada bacaan yang disebut dengan (Discovery
Learning). Dalam melaksanakan percakapan
linguistik guru dibantu dengan lembar kategori. Lembar kategori adalah
catatan-catatan hasil refleksi yang dibuat oleh siswa pada kegiatan percakapan
kemudian diproses lebih lanjut untuk menemukan istilah baku dalam tata bahasa.
Contohnya pada saat kegiatan refleksi guru menugaskan kepada setiap anak untuk
mencari kata-kata yang terdapat suku kata me- sebanyak-banyaknya seperti
memasak, menyapu, membeli, mencuci dan lain-lain. kemudian hasilnya tersebut
digabungkan dan disalin ke dalam sebuah kertas yang dinamakan lembar kategori,
kemudian pada saat percakapan linguistik dibahas kembali melalui sebuah
percakapan tentang kata berimbuhan sehingga anak dapat memahami dan mengerti
bahwa kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang berimbuhan me- dan diharapkan
anak tersebut dapat berkata “Ooo, itu yang dinamakan imbuhan dan kata
berimbuhan”.
8. Metode dan pndektn
PKPBI
Metode
dan Pendekatan Bina Persepsi Bunyi dan Irama (BPBI)
Salah
satu faktor yang turut menentukan berhasil tidaknya bina persepsi bunyi dan
irama (BPBI) adalah penggunaan metode dan pendekatan yang sesuai. Bina persepsi
bunyi dan irama (BPBI) merupakan bagian tidak terpisahkan dari pelajaran
bahasa. Oleh karena itu, sebaiknya digunakan metode yang juga digunakan dalam
pelajaran bahasa. Pengajaran bahasa kepada anak tunarungu pada umumnya
berorientasi kepada kebutuhan anak. Anak membutuhkan komunikasi secara langsung
dengan orang sekelilingnya dengan cara bercakap-cakap. Maka pendekatan “percakapan” merupakan media dalam pelajaran bina
persepsi bunyi dan irama (BPBI) yang paling tepat. Beberapa metode yang dapat digunakan, yaitu:
(1)
melalui permainan terutama untuk anak pada fase awal pembinaan.
(2)
Pemberian tugas, pembelajaran BPBI banyak menuntut melakukan aktivitas sesuai
petunjuk guru atau berupa kegiatan dimana anak diberi rangsangan yang perlu
direspon dengan perbuatan tertentu, seperti bergerak, bicara, dsb.
(3)
Demonstrasi, guru memberi contoh-contoh gerak tertentu.
(4)
Observasi/pengamatan terhadap respon anak.
5
Prawicara
Pelatihan Wicara Anak
tunarungu Pelatihan
wicara merupakan upaya yang dilakukan secara sadar, terencana, dan sistematis
untuk mengubah tingkah laku anak agar dapat mengucapkan bunyi-bunyi bahasa,
dalam mengkomunikasikan pikiran, gagasan, dan perasaan, dengan memanfaatkan
pernapasan, alat-alat ucap, otot-otot, dan syaraf secara integral. Tujuan
pelatihan wicara pada anak tunarungu secara umum adalah agar anak memiliki
pengetahuan, keterampilan, dan sikap dasar untuk berkomunikasi dan berintegrasi
dalam kehidupan masyarakat. Tujuan khususnya adalah (a) keterampilan wicara
yang jelas, (b) keterampilan membaca ujaran yang ditunjang oleh pendengarannya,
(c) sikap berpikir secara oral, (d) pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan
mengemudikan, dan mengevaluasi wicaranya sendiri.
Teknik Latihan Prawicara Teknik
latihan prawicara ditujukan untuk mengkondisikan kesiapan mental, fisik, dan
psikologis anak tunarungu untuk memasuki dunia komunikasi verbal. Dalam tahapan ini, guru melakukan
serangkaian aktivitas seperti keterarahwajahan, keterarahsuaraan, dan
pelemasan organ bicara. Latihan
keterarahwajahan ditujukan untuk melatih kebiasaan dan kepekaan anak
tunarungu dalam melakukan komunikasi untuk selalu memandang lawan bicara dengan
arah posisi pandang wajah yang benar. Ukuran keterarahwajahan ini ditujukan
supaya anak tunarungu dapat dengan mudah memahami bahasa bibir atau gerakan
bibir sebagai pusat keluarnya fonem.
Latihan keterarahsuaraan dalam pembelajaran pengembangan komunikasi
persepsi bunyi dan irama(PKPBI) dimaksudkan untuk melatih kepekaan anak
tunarungu dalam mendeteksi dan merasakan arah suara yang keluar. Fokus dalam
latihan ini guru melatih secara terus menerus kepada anak untuk menghasilkan,
merasakan, dan mengidentifikasi arah suara yang dihasilkan. Biasanya dalam
latihan ini, guru dapat menggunakan metode vibrator atau getaran arah suara
dengan menempelkan tangan di leher, di mulut, sehingga anak tunarungu dapat
merasakan arah suara yang keluar. Latihan
pelemasan organ bicara adalah upaya lainnya yang dilakukan oleh guru untuk
menstimulasi keberfungsian organ bicara anak tunarungu secaramaksimal.
Latihan prawicara pada
umumnya diberikan kepada anak tunarungu usia dini, dengan tujuan untuk
melatihan kesiapan organ bicara untuk menghasilkan bunyi suara, melatih teknik
berbicara. Dalam prakteknya, implementasi teknik prawicara ini akan efektif
jika didukung dengan peralatan, seperti ruang pengembangan komunikasi persepsi
bunyi dan irama (PKPBI) yang dilengkapi dengan cermin dengan ukuran lebar,
microphone, meja, dan alat rekam bicara. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa latihan pelemasan organ bicara ditujukan
untuk menstimulus kesiapan organ bicara dalam menghasilkan bunyi-bunyi suara.
Latihan organ bicara dapat mengoptimalkan fungsi rahang, mulut, gigi, dan
lidah. Di samping itu juga latihan pelemasan organ bicara bisa dikembangkan ke
dalam latihan vokal dan suku kata. Nugroho,
B. (2002: 47) mengemukakan beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam latihan
pelemasan organ bicara, sebagai berikut:
1.
Gerakan bibir dengan cara latihan membuka dan menutup bibir/mulut, membundarkan
bibir, meniup harmonika/bola pingpong, membentuk bunyi ”r” yang panjang,
misalnya ”berrrr” dengan bibir, membentuk bunyi ”mmmmm”, membentuk bunyi-bunyi
vokal, membentuk bunyi ”papapapa”, dan seterusnya.
2.
Latihan gerak rahang, seperti membuka dan menutup mulut, rahang digerakan ke
kiri dan ke kanan, menguap dengan mulut terbuka dan tertutup, mengunyah dengan
mulut tertutup. Tujuan dari kegiatan ini agar otot-otot rahang tidak menjadi
kaku.
Latihan
gerak lidah, seperti mulut terbuka, lidah keluar masuk mulut, menjilat bibir
atas dan bibir bawah, ujung lidah ditekan pada gigi atas dan gigi bawah, lidah
dilingkar-lingkarkan.
4.
Latihan langit-langit lembut (velum) menguap dengan mulut terbuka, meniup
dengan kuat, dan sebagainya.
Latihan lainnya
yang dapat dilakukan guru dalam teknik prawicara adalah latihan pernapasan. Nugroho,
B. (2002: 18), mengemukakan beberapa aktivitas yang dapat dilakukan anak
tunarungu untuk melatih pernapasan, seperti: (1) meniup dengan hembusan; (2)
meniup dengan letupan; dan (3) menghirup dan menghembuskan melalui hidung.
Nugroho, B.(2002: 48), mengemukakan beberapa aktivitas untuk melatih pernafasan
pada anak tunarungu, sebagai berikut:
1.
Latihan menghemat nafas. Meniup lilin atau bola pingpong sampai benda-benda itu
bergerak-gerak sehingga nafas dirasakan oleh anak, kemudian anak menarik nafas
melalui hidung dan mengeluarkan nafas dengan cara meniup. Anak mengucapkan
”papapapa” atau ”mamamama” dan sebagainya dengan tidak memutuskan nafas.
2.
Latihan babling. Anak dilatih mulai dari kata yang diucapkan dan menekankan
latihan ucapan suku kata, irama suara, dan latihan kontrol suara. Di samping
itu latihan kata-kata secara berulang.
Misalnya
guru dapat melatihkan keterampilan berikut:
1.
Latihan pengucapan suku kata tunggal dalam kelompok fonem: a – da, a – pi, i –
kan.
2.
Latihan pengucapan dua buah suku kata dengan penekanan pada pengucapan suku
kata kedua: a – ku, a – ki, i – bu, a – bu, dan sebagainya.
3.
Latihan pengucapan dua buah suku kata diawali huruf konsonan, seperti: pa – ku,
pa – pi – pa.
Nugroho,
B. (2002: 15), menambahkan bahwa dalam teknik prawicara, guru juga dapat
melatih teknik pembentukan suara. Dalam latihan pembentukan suara ini, guru
melatih anak tunarungu dengan tujuan untuk:
1.
Menyadarkan anak untuk bersuara
2. Merasakan
getaran pada dada guru
3.
Menirukan ucapan guru sambil meraba dada
4.
Melafalkan vokal bersuara
5.
Meraban sambil merasakan getaran
Pelatihan wicara
a.
Prawicara
Pelatihan
keterarahwajahan
Tujuan
pelatihan keterarahwajahan agar:
(1) Anak mampu menatap
wajah lawan bicara
(2) Anak mampu menatap
wajah dirinya sendiri melalui cermin
(3)
Anak mampu berkonsentrasi
Langkah-langkah
guna mencapai tujuan tersebut adalah:
(1) Guru menciptakan
suasana bathin yang empatik, simpatik, dan terbuka bagi anak, sehingga anak
merasa nyaman menatap wajah guru.
(2) Guru menciptakan
suasana dengan permainan yang menarik, misalnya bermain ci luk ba, saling
dorong, lempar tangkap bola, dan lain-lain.
(3) Guru mengarahkan
pandangan anak ke cermin agar memiliki kesiapan pelatihan wicara
Pelatihan
keterarahsuaraan
Tujuan
pelatihan keterarahsuaraan:
(1) Agar anak menyadari
adanya suara dengan menggunakan alat bantu dengar
(2) Agar anak mampu
bersuara
(3)
Agar anak mampu mereaksi suara
Langkah
pelatihan keterarahsuaraan, yaitu:
a)
Guru mengkondisikan anak memakai headphone
b)
Guru memperkenalkan suara melalui microphone
c)
Guru menyadarkan adanya suara dengan melihat lampu aksen, merasakan getaran
melalui head phone dan dada.
d)
Guru menyuruh anak untuk bersuara melalui microphone sambil melihat lampu aksen
dan merasakan getaran pada headphone dan dada.
Pelatihan
Motorik Mulut
Tujuan
pelatihan motorik mulut adalah:
(1) Agar anak mampu membuka
dan menutup mulut
(2) Agar anak mampu
melemaskan dan menegangkan organ artikulasi
(3)
Agar anak mampu mengendalikan organ artikulasi
Langkah-langkah
pelatihan motorik mulut, yaitu:
a)
Guru memberi contoh membuka dan menutup mulut secara benar, anak menirukan.
Guru
memberi contoh menaikkan dan menurunkan ujung lidah dari kiri ke kanan sampai
sudut-sudut mulut, anak menirukan.
c)
Guru memberi contoh menggerakkan ujung lidah dari kiri ke kanan sampai ke
sudut-sudut mulut, anak menirukan.
d)
Guru memberi contoh mendorong lidah ke pipi kiri dan kanan, anak menirukan
e)
Guru memberi contoh meruncingkan dan melebarkan lidah, anak menirukan.
f)
Guru memberi contoh membulatkan dan melebarkan bibir-bibir secara silih
berganti dengan mulut tertutup dan terbuka, anak menirukan.
g)
Guru memberi contoh mengembungkan pipi, anak menirukan
h)
Guru memberi contoh cara mengunyah yang benar, anak menirukan.
i)
Guru memberi contoh minum yang benar, anak menirukan
j)
Guru memberi contoh menggigit yang benar, anak menirukan
k)
Guru memberi contoh menelan yang benar, anak menirukan
Pelatihan
pernafasan
Tujuan
pelatihan pernafasan
(1)
Anak mampu bernafas secara teratur
(2)
Anak mampu bernafas secara benar
Langkah-langkah
pelatihan pernafasan dengan pernafasan dada dan perut adalah sebagai berikut:
a.
Guru menyuruh anak terlentang di meja pernapasan, dan meletakkan beban pada
perut anak.
b.
Guru menyuruh anak untuk menghirup nafas melalui hidung secara perlahan
sehingga beban pada perut anak naik.
c.
Guru menyuruh anak menghembuskan nafas melalui mulut secara perlahan sehingga
beban pada perut anak turun
d.
Guru menyadarkan anak agar pada latihan ke dua dan ketiga bahunya tidak
bergerak.
Selain
empat langkah latihan pernafasan dapat dilakukan melalui meniup bola pingpong,
pianika, terompet, dan sebagainya.
Pelatihan
pembentukan suara
Tujuan
pelatihan pembentukan suara adalah:
a.
Anak mampu mengeluarkan suara yang normal
b.
Anak mampu menyadari suaranya sendiri
c.
Anak mampu menjadikan suara sebagai bagian dari hidupnya
Langkah-langkah
pelatihan pembentukan suara, diantaranya adalah:
1.
Guru memberi contoh meraban, anak menirukan, bagi yang tidak dapat menirukan
secara spontan, diberi bantuan dengan taktil kinestetis.
2.
Guru mengajak anak bermain sambil bersuara, anak mengikutinya
3.
Guru mengucapkan vokal secara panjang, anak menirukan sambil melihat lampu
aksen
10. prinsip khusus pembelajaran PKPBI
Prinsip Khusus dalam Pembelajaran PKPBI
a. Prinsip Cybernetika
dalam Pembelajaran PKPBI
Prinsip
cibernetik menekankan bahwa dalam pembelajaran PKPBI, guru harus
mengembangkan komunikasi secara aktif dengan anak tunarungu dalam memadukan
bunyi yang dipersepsinya menjadi sebuah konsep yang dapat dikembangkan.
Pengembangan konsep bunyi pada anak tunarungu melalui umpan balik, guru dapat
memadukan antara bunyi ke dalam gerak dan irama. Misalnya, setelah anak
tunarungu mampu mendeteksi bunyi, guru terus memberikan pertanyaan kepada anak,
bahwa bunyi-bunyi yang dideteksinya tersebut dapat didiskriminasikan, terus dapat
diidentifikasi. Begitu juga setelah anak tunarungu mampu mengidentifikasikan
bunyi, guru dapat mengembangkan kemampuan anak untuk memadukan dengan gerakan
dan irama, sehingga pada akhirnya anak tunaurungu dapat menikmati gerakan dan
irama melalui bunyi-bunyi yang dipersepsikannya.
b.
Prinsip Kontras dalam Pembelajaran PKPBI
Prinsip
kontras dalam pembelajaran PKPBI mengandung makna bahwa dalam melatih
bunyi-bunyian pada anak tunarungu, berdasarkan sifat dari bunyi yang
dipersespsikan. Dalam hal ini, guru harus melatih anak tunarungu untuk
memperkenalkan bunyi-bunyian secara kontras, seperti bunyi yang keras dengan
bunyi yang lemah, bunyi dengan nada yang tinggi dengan bunyi nada yang rendah.
Dalam konteks ini, ketika mengajarkan PKPBI, guru harus mampu memberikan
berbagai jenis bunyi-bunyian secara variasi dan kontras, misalnya guru mengajak
anak tunarungu untuk mendeteksi bunyi meja yang dipukul dengan suara pesawat
terbang, suara piano dalam nada yang tinggi dengan nada yang rendah. Prinsip
ini membimbing anak tunarungu untuk memiliki persepsi tentang bunyi-bunyian
dengan berbagai tingkatannya.
c.
Prinsip Individualitas dalam Pembelajaran PKPBI
Prinsip
individualitas dalam pembelajaran PKPBI mengandung makna bahwa ketika
melaksanakan pembelajaran PKPBI, guru harus mempertimbangkan dan mengakomodir
keunikan individu setiap anak tunarungu. Perbedaan derajat kemampuan
pendengaran, jenis ketunarunguan, dan peristiwa terjadinya ketunarunguan harus
dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan struktur materi, metode,
pendekatan, dan penggunaan alat bantu yang digunakan dalam pembelajaran.
d.
Prinsip Keterpaduan dalam Pembelajaran PKPBI
Layanan
PKPBI adalah layanan khusus yang merupakan suatu kesatuan antara pembinaan
komunikasi dan optimalisasi sisa pendengaran
untuk mempersepsi bunyi dan irama. Layanan tersebut dimaksudkan untuk
mengembangkan kemampuan interaksi dan komunikasi anak yang mengalami hambatan
sensori pendengaran dengan lingkungan orang mendengar. Layanan tersebut dapat
diberikan secara terpisah maupun secara terpadu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar