Teori Gestalt
1.
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Psikologi Gestalt bermula pada lapangan
pengamatan ( persepsi ) dan mencapai sukses yang terbesar juga dalam lapangan
ini. Demonstrasinya mengenai peranan latar belakang dan organisasinya terhadap
proses-proses yang
diamati secara fenomenal demikian meyakinkan sehingga boleh dikatakan tidak
dapat di bantah. Pandangan pokok psikologi Gestalt adalah berpusat bahwa apa
yang dipersepsi itu merupakan suatu kebulatan, suatu unity atau suatu Gestalt.
Psikologi Gestalt semula memang timbul berkaitan dengan masalah persepsi, yaitu
pengalaman Wertheimer di stasiun kereta api yang disebutnya sebagai
phi
phenomena. Dalam pengalaman tersebut sinar yang tidak bergerak dipersepsi
sebagai sinar yang bergerak (Garret, 1958). Walaupun secara objektif sinar itu
tidak bergerak. Dengan demikian maka dalam persepsi itu ada peran aktif dalam
diri perseptor. Ini berarti bahwa dalam individu mempersepsi sesuatu tidak hanya
bergantung pada stimulus objektif saja, tetapi ada aktivitas individu untuk
menentukan hasil persepsinya. Apa yang semula terbatas pada persepsi, kemudian
berkembang dan berpengaruh pada aspek-aspek lain, antara lain dalam psikologi
belajar. Ketika para ahli Psikologi Gestalt beralih dari masalah pengamatan ke
masalah belajar, maka hasil-hasil yang telah kuat / sukses dalam penelitian
mengenai pengamatan itu dibawanya dalam studi mengenai belajar . Karena asumsi
bahwa hukum–hukum atau prinsip-prinsip yang berlaku pada proses pengamatan
dapat ditransfer kepada hal belajar, maka untuk memahami proses belajar orang
perlu memahami hukum-hukum yang menguasai proses pengamatan itu.
1.2 Rumusan Masalah
i.
Apa yang dimaksud teori gestalt?
ii.
Siapa saja tokoh-tokoh teori gestalt?
iii.
Jelaskan tentang konsep pokok dan proses konseling !
iv. Bagaimanakah aplikasi dalam teori gestalt?
1.3 Tujuan
i.
Mengetahui tentang pengertian teori gestalt.
ii.
Mengetahui tentang tokoh-tokoh teori gestalt.
iii.
Mengetahui tentang konsep pokok dan konsep konseling.
iv. Mengetahui pengaplikasian
teori gestalt dalam pembelajaran.
2.
Pembahasan
2.1 Teori Gestalt
Gestalt adalah sebuah teori yang menjelaskan proses
persepsi melalui pengorganisasian komponen-komponen sensasi yang memiliki
hubungan, pola, ataupun kemiripan menjadi kesatuan. Teori gestalt beroposisi
terhadap teori strukturalisme. Teori gestalt cenderung berupaya mengurangi
pembagian sensasi menjadi bagian-bagian kecil.
Teori ini dibangun oleh tiga orang, Kurt Koffka,
Max Wertheimer, and Wolfgang Köhler. Mereka menyimpulkan bahwa seseorang
cenderung mempersepsikan apa yang terlihat dari lingkungannya sebagai kesatuan
yang utuh.
Psikologi Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang berarti
menggambarkan konfigurasi atau bentuk yang utuh. Suatu gestalt dapat berupa objek yang berbeda dari jumlah
bagian-bagiannya. Semua penjelasan tentang bagian-bagian objek akan mengakibatkan
hilangnya gestalt itu sendiri.
Sebagai contoh, ketika melihat sebuah persegi panjang maka hal ini dapat
dipahami dan dijelaskan sebagai persegi panjang berdasarkan keutuhannya atau
keseluruhannya dan identitas ini tidak bisa dijelaskan sebagai empat garis yang
saling tegak lurus dan berhubungan.
Psikologi gestalt adalah gerakan jerman yang secara langsung
menantang psikologi strukturalisme Wundt. Para gestaltis mewarisi tradisi psikologi aksi dari Brentano,
Stumpf dan akademi Wurzburg di jerman, yang berupaya mengembangkan alternatif
bagi model psikologi yang diajukan oleh model ilmu pengetahuan alam
reduksionistik dan analitik dari Wundt.
Gerakan gestalt lebih konsisten dengan tema utama dalam filsafat jerman
yakni aktivitas mental dari pada sistem Wundt. Psikologi gestalt didasari oleh
pemikiran Kant tentang teori nativistik yang mengatakan bahwa adanya proses
berfikir membuat individu dapat berinteraksi dengan lingkungannya melalui
cara-cara yang khas. Sehingga tujuan psikologi gestalt adalah menyelidiki
cara-cara berfikir seseorang dan mengetahui secara tepat karakteristik
interaksi manusia dengan lingkungannya
Psikologi gestalt diawali dan dikembangakan melalui tulisan-tulisan tiga
tokoh penting, yaitu Max Wertheimer, Wolfgang Kohler dan Kurt Koffka. Ketiganya
dididik dalam atmosfer intelektual yang menggairahkan pada awal abad 20 di
Jerman, dan ketiganya melarikan diri dari kejaran nazi dan bermigrasi ke
Amerika.
Tetapi di
Amerika psikologi gestalt tidak memperoleh dominasi seperti di Jerman. Hal ini
dikarenakan psikologi Amerika telah berkembang melalui periode fungsionalisme
dan pada tahun 1930-an didominasi oleh behaviorisme. Oleh karena itu, kerangka
psikologi gestalt tidak sejalan dengan perkembangan-perkembangan di Amerika.
2.2 Tokoh-tokoh
gestalt
1. Max Wertheimer (1880-1943)
Max Wertheimer adalah tokoh tertua dari
tiga serangkai pendiri aliran psikologi Gestalt.
Wertheimer dilahirkan di Praha pada tanggal 15 April 1880. Ia mendapat gelar Ph.D
nya di bawah bimbingan Oswald Kulpe. Antara tahun 1910-1916, ia bekerja di Universitas
Frankfurt di mana ia bertemu dengan rekan-rekan pendiri aliran Gestalt yaitu,
Wolfgang Kohler dan Kurt Koffka.
Bersama-sama dengan Wolfgang
Koehler (1887-1967) dan Kurt Koffka (1887-1941) melakukan eksperimen yang
akhirnya menelurkan ide Gestalt. Tahun 1910 ia mengajar
di Univeristy of Frankfurt bersama-sama dengan Koehler dan Koffka yang saat itu
sudah menjadi asisten di sana. Konsep pentingnya : Phi phenomenon, yaitu bergeraknya
objek statis menjadi rangkaian gerakan yang dinamis setelah dimunculkan dalam
waktu singkat dan dengan demikian memungkinkan manusia melakukan interpretasi.
Weirthmeir menunjuk pada proses interpretasi dari sensasi obyektif yang kita
terima. Proses ini terjadi di otak dan sama sekali bukan proses fisik tetapi
proses mental sehingga diambil kesimpulan ia menentang pendapat Wundt.
Wertheimer dianggap sebagai
pendiri teori Gestalt setelah dia melakukan eksperimen
dengan menggunakan alat yang bernama stroboskop, yaitu alat yang berbentuk
kotak dan diberi suatu alat untuk dapat melihat ke dalam kotak itu. Di dalam kotak
terdapat dua buah garis yang satu melintang dan yang satu tegak. Kedua gambar tersebut
diperlihatkan secara bergantian, dimulai dari garis yang melintang kemudian garis
yang tegak, dan diperlihatkan secara terus menerus. Kesan yang muncul adalah garis
tersebut bergerak dari tegak ke melintang. Gerakan ini merupakan gerakan yang semu
karena sesungguhnya garis tersebut tidak bergerak melainkan dimunculkan secara bergantian.
Pada tahun 1923, Wertheimer
mengemukakan hukum-hukum Gestalt dalam bukunya
yang berjudul “Investigation of Gestalt Theory”. Hukum-hukum itu antara lain
:
a) Hukum Kedekatan (Law of
Proximity)
b) Hukum Ketertutupan ( Law
of Closure)
c) Hukum Kesamaan (Law of
Equivalence)
2.
Kurt Koffka (1886-1941)
Koffka lahir di Berlin
tanggal 18 Maret 1886. Kariernya dalam psikologi dimulai sejak
dia diberi gelar doktor oleh Universitas Berlin pada tahun 1908. Pada tahun
1910, ia bertemu dengan Wertheimer dan Kohler, bersama kedua orang ini
Koffka mendirikan aliran psikologi Gestalt di Berlin. Sumbangan Koffka kepada
psikologi adalah penyajian sistematis dan pengamalan
dari prinsip-prinsip Gestalt dalam rangkaian gejala psikologi,
mulai persepsi, belajar, mengingat, sampai kepada psikologi belajar dan
psikologi sosial. Teori Koffka tentang belajar didasarkan pada anggapan bahwa
belajar dapat diterangkan dengan prinsip-prinsip psikologi
Gestalt.
Teori Koffka tentang belajar
antara lain:
a.
Jejak
ingatan (memory traces), adalah suatu pengalaman yang membekas di otak. Jejak-jejak
ingatan ini diorganisasikan secara sistematis mengikuti prinsip-prinsip Gestalt
dan akan muncul kembali kalau kita mempersepsikan sesuatu yang serupa dengan
jejak-jejak ingatan tadi.
b.
Perjalanan
waktu berpengaruh terhadap jejak ingatan.
c.
Perjalanan
waktu itu tidak dapat melemahkan, melainkan menyebabkan terjadinya perubahan
jejak, karena jejak tersebut cenderung diperhalus dan disempurnakan untuk
mendapat Gestalt yang lebih baik dalam ingatan.
d.
Latihan
yang terus menerus akan memperkuat jejak ingatan.
3.
Wolfgang Kohler (1887-1967)
Kohler lahir di Reval,
Estonia pada tanggal 21 Januari 1887. Kohler memperoleh gelar Ph.D pada tahun
1908 di bawah bimbingan C. Stumpf di Berlin. Ia kemudian pergi ke Frankfurt.
Saat bertugas sebagai asisten dari F. Schumman, ia bertemu dengan Wartheimer
dan Koffka. Kohler berkarier mulai tahun 1913-1920, ia bekerja sebagai Direktur
stasiun “Anthrophoid” dari Akademi Ilmu-Ilmu Persia di Teneriffe, di mana
pernah melakukan penyelidikannya terhadap inteligensi kera.
Hasil kajiannya ditulis
dalam buku betajuk The Mentality of Apes (1925) Eksperimennya
adalah : seekor simpanse diletakkan di dalam sangkar. Pisang digantung di atas
sangkar. Di dalam sangkar terdapat beberapa kotak berlainan jenis. Mula-mula
hewan itu melompat-lompat untuk mendapatkan pisang itu tetapi tidak berhasil.
Karena usaha-usaha itu tidak membawa hasil, simpanse itu berhenti sejenak,
seolah-olah memikir cara untuk mendapatkan pisang itu. Tiba-tiba hewan itu
dapat sesuatu ide dan kemudian menyusun kotak-kotak yang tersedia untuk
dijadikan tangga dan memanjatnya untuk mencapai pisang itu.
Menurut Kohler apabila
organisme dihadapkan pada suatu masalah atau problem, maka akan terjadi ketidakseimbangan kognitif, dan ini
akan berlangsung sampai masalah tersebut terpecahkan. Karena itu, menurut
Gestalt apabila terdapat ketidakseimbangan kognitif, hal ini akan mendorong
organisme menuju ke arah keseimbangan. Dalam eksperimennya Kohler sampai pada
kesimpulan bahwa organism –dalam hal ini simpanse– dalam memperoleh pemecahan
masalahnya diperoleh dengan pengertian atau dengan insight.
4.
Kurt Lewin (1890-1947)
Pandangan Gestalt
diaplikasikan dalam field psychology oleh Kurt Lewin. Lewin lahir di
Jerman, lulus Ph.D dari University of Berlin dalam bidang psikologi thn 1914.
Ia banyak terlibat dengan pemikir Gestalt, yaitu Wertheimer dan Kohler dan
mengambil konsep psychological field juga dari Gestalt. Pada saat Hitler
berkuasa Lewin meninggalkan Jerman dan melanjutkan karirnya di Amerika Serikat.
Ia menjadi professor di Cornell University dan menjadi Director of the
Research Center for Group Dynamics di Massacusetts Institute of Technology (MIT)
hingga akhir hayatnya di usia 56 tahun.
Mula-mula Lewin tertarik
pada paham Gestalt, tetapi kemudian ia mengkritik teori Gestalt karena
dianggapnya tidak adekuat. Lewin kurang setuju dengan pendekatan Aristotelian
yang mementingkan struktur dan isi gejala kejiwaan. Ia lebih cenderung kearah
pendekatan yang Galilean, yaitu yang mementingkan fungsi kejiwaan. Konsep utama
Lewin adalah Life Space, yaitu lapangan psikologis tempat individu berada dan
bergerak. Lapangan psikologis ini terdiri dari fakta dan obyek psikologis yang
bermakna dan menentukan perilaku individu (B=f L).
Tugas utama psikologi adalah
meramalkan perilaku individu berdasarkan semua fakta psikologis yang eksis
dalam lapangan psikologisnya pada waktu tertentu. Life space terbagi atas
bagian-bagian yang memiliki batas-batas. Batas ini dapat dipahami sebagai
sebuah hambatan individu untuk mencapai tujuannya. Gerakan individu mencapai
tujuan (goal) disebut locomotion. Dalam lapangan psikologis ini juga
terjadi daya (forces) yang menarik dan mendorong individu mendekati dan
menjauhi tujuan. Apabila terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium), maka
terjadi ketegangan (tension).
Salah suatu teori Lewin yang
bersifat praktis adalah teori tentang konflik. Akibat adanya vector-vector yang
saling bertentangan dan tarik menarik, maka seseorang dalam suatu lapangan
psikologis tertentu dapat mengalami konflik (pertentangan batin) yang jika
tidak segera diselesaikan dapat mengakibatkan frustasi dan ketidakseimbangan.
Berdasarkan kepada vector
yang saling bertentangan itu. Lewin membagi konflik dalam 3 jenis
:
a) Konflik mendekat-mendekat (Approach-Approach
Conflict)
Konflik ini terjadi jika seseorang menghadapi dua obyek yang
sama-sama bernilai positif.
b) Konflik menjauh-menjauh (Avoidance-Avoidance
Conflict)
Konflik ini terjadi kalau seseorang berhadapan dengan dua obyek
yang sama-sama mempunyai nilai negative tetapi ia tidak bisa menghindari kedua
obyek sekaligus.
c) Konflik mendekat-menjauh (Approach-Avoidance
Conflict)
Konflik ini terjadi jika ada satu obyek yang mempunyai nilai
positif dan nilai negatif sekaligus.
2.3 Konsep Pokok
Perls menyatakan bahwa individu dalam hal ini
adalah manusia, selalu aktif dengan keseluruhan. Ia juga menenegaskan bahwa
ikatan antara individu/organism dengan lingkungannya hanya dialami sebagai apa
yang ada di luar di dalam kulit, sebab dalam hubungan ini perhatian individu
terhadap lingkungan bukan berarti suatau keadaan sadar, tetapi hanya pemusatan
tingkah laku (kegiatan) bagian-bagian lingkungan yang relevan, dengan
penyesuaian otot-otot, pengindraan dsb.
Ikatan
ego merupakan diferensiasi antara self dengan yang lain, melalui proses
identifikasi dan alienasi. Identifikasi berarti bahwa “saya” lebih berharga
dari “yang lain”. Seorang individu meng identifikasikan dirinya dengan
keluarganya, kelompoknya atau profesinya. Melalui identifikasi akan timbul
cinta dan kerjasama dalam hubungan ikatan ego. Sedangkan alineasi timbul akibat
adanya pertentangan, keganjilan, dan ketidaksenangan. Ditegaskan oleh Perls
bahwa keseluruhan ide tentang baik dan buruk, benar dan salah, selalu merupakan
masalah ikatan mengenai segi perlindungan dimana “saya” ada dilalui komunikasi
bila dua individu saling bertemu, masing-masing mencoba membentuk suatu dunia
yang mengandung kepentingan bersama. “saya” dan “engkau” berubah menjadi “kami”
dalam suatu ikatan baru yang terbentuk.
Perls
mengatakan bahwa konsep kepribadian disusun oleh Freud tidak sempurna, sebab
freud tidak merumuskan lawan superego atau kata hati dengan jelas dan nyata.
Perls menyebut superego top dog sebagai lawan dari under dog. Superego
menyangkut kekuasaan, kebenaran dan kesempurnaan Top dog menghukum individu
dengan “keharusan” “keinginan” dan “ketakutan” akan ancaman. Sedangkan under
dog menguasai individu dengan penekanan yang baik dan keadaan mempertahankan
diri.
Menurut
perls individu tersiksa oleh kedua kekuatan dari dalam tersebut, yaitu top dog
dan under dog yang selalu berlomba ingin mengontrolnya. Konflik ini tidak
pernah sempurna dan merupakan suatu bentuk penyiksaan diri.
Proses
konseling
Proses terapi gestalt :
1) Membentuk
pola pemikiran terapeutik, agar tercipta situasi yang memungkinkan perubahan
yang diharapkan pada klien. Pada setiap klien pola yang diciptakan berbeda
karena setiap individu serta memilki kebutuhan yang bergantung pada masalah
yang harus dipecahkan .
2) Memaksa
pengawasan yaitu koselor meyakinkan klien untuk mengikuti prosedur yang telah
ditetapkan sesuai dengan kondisi klien. Ada 2 fase yaitu:
a. Menimbulkan
motivasi pada klien. Dalam hal ini di beri kesempatan untuk menyadari
ketidakpuasannya. Makin tyinggi penyadaran atas ketidakpuasaanya makin besar
motivasi untuk mencapai perubahan dirinya, sehinnga makin tinggi keinginan
klien untuk bekerjasama dengan konselor.
b. Menciptakan
rapport yaitu hubungan baik antara konselor dan klien agar timbul rasa percaya
pada klien bahwa segala usaha konselor itu disadari benar oleh klien untuk
kepentingannya.
3) Klien
didorong untuk mengatakan perasaan-perasaannya pada pertemuan terapi saat ini.
Klien diberi kesempatan untuk mengalami kembali segala perasaan dan perbuatan
pada masa lalu dalam situasi di sini-saat ini. Klien diberi kesempatan
mengungkapkan segala perasaannya dengan dasar asosiasi bebas. Melalui fase ini
konselor berusaha menemukan celah/aspek kepribadian yang hilang. Dari sisni
ditemukan penyembuhan apa yang harus dilakukan.
4) Pada
fase ini klien harus memilki cirri-ciri yang menunjukkan integritas
kepribadiannya sebagai individu yang unik dan manusiawi.
Adapun
teknik-teknik yang bisa digunakan dalam konseling Gestalt antara lain :
a. Enhancing Awareness
yaitu klien dibantu untuk berada pada pengalamannya sekarang secara sadar.
b. Personality pronouns
yaitu klien diminta untuk mempribadikannya pikirannya untuk meningkatkan
kesadaran pribadinya.
c. Changing question to
statemens yaitu mendorong klien untuk untuk
menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang dapat mendorong untuk mengekpresikan
dirinya dan bertanggung jawab bagi komunikasinya.
d. Assuming responsibility
yaitu klien diminta untuk mengalihkan kata “won’t” untuk can’t”.
e. Bertanya
“bagaimana” dan “apa” menjadikan
individu masuk ke dalam pengalaman
perilakunya sendiri.
f. Sharing hunces
yaitu mendorong klien untuk mengeksplorasi dari dengan menanamkan tilikan
seperti “Saya lihat”
g. Bringing
the past into the now membantu klien agar menggalami pengalaman-pengalaman
masa lalu dalam situasi sekarang.
h. Expressing resentments
and appreciation yaitu membantu klien untuk
mengidentifikasi dan menyatakan keadaandan penghargaan dirinya.
i.
Using
body expression yaitu mengamati ekspresi badan
klien dan memusatkan perhatian untuk membantu kesadaran individu.
2.4
Aplikasi Prinsip Gestalt
1. Belajar
Proses belajar adalah fenomena kognitif. Apabila individu
mengalami proses belajar,
terjadi reorganisasi dalam perceptual fieldnya. Setelah proses
belajar terjadi, seseorang dapat memiliki cara pandang baru terhadap suatu
problem.
Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
a.
Pengalaman
tilikan (insight) : bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku
yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau
peristiwa.
b.
Pembelajaran
yang bermakna (meaningful learning) : kebermaknaan unsur-unsur yang terkait
akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna
hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari.
c.
Perilaku
bertujuan (purposive behavior) : bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku
bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya
dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif
jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru
hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu
peserta didik dalam memahami tujuannya.
d.
Prinsip
ruang hidup (life space) : bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan
lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya
memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta
didik.
e.
Transfer
dalam Belajar : yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran
tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi
dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi
tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam
tatasusunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip
pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan
umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah
menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi
untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain.
2. Insight
Pemecahan masalah secara jitu yang muncul setelah adanya proses
pengujian berbagai dugaan/kemungkinan. Setelah adanya pengalaman insight, individu
mampu menerapkannya pada problem sejenis tanpa perlu melalui proses trial-error
lagi. Konsep insight ini adalah fenomena penting dalam belajar, ditemukan oleh
Kohler dalam eksperimen yang sistematis.
Timbulnya insight pada individu tergantung pada :
a. Kesanggupan
Kesanggupan berkaitan dengan kemampuan inteligensi individu.
b. Pengalaman
Dengan belajar, individu akan mendapatkan suatu pengalaman dan
pengalaman itu
akan menyebabkan munculnya insight.
a. Taraf kompleksitas dari suatu situasi
Semakin kompleks masalah akan semakin sulit diatas
b.
Latihan
Dengan banyaknya latihan akan dapat mempertinggi
kesangupan memperoleh insight, dalam situasi-situasi yang bersamaan yang telah
dilatih .
e. Trial and eror
Sering seseorang itu tidak dapat memecahkan suatu
masalah. Baru setelah mengadakan percobaan-percobaan, sesorang itu dapat
menemukan hubungan berbagai unsur dalam problem itu, sehingga akhirnya
menemukan insight.
Menurut
Hilgard(1948 : 190-195) memberikan enam macam sifat khas belajar dengan insight
:
1. Insight termasuk pada
kemampuan dasar
Kemampuan dasar berbeda-beda dari individu yang satu ke individu yang
lain. Pada umumnya anak yang masih sangat muda sukar untuk belajar dengan
insight ini.
2. Insight itu tergantung
pengalaman masa lampau yang relevan.
3. Insight tergantung
kepada pengaturan secara eksperimental
4. Insight itu didahului
oleh suatu periode coba-coba
5. Belajar dengan insight
itu dapat diulangi
6. Insight yang telah
sekali didapatkan dapat dipergunakan untuk menghadapi
situasi-situasi yang baru
Teori gestalt banyak dipakai dalam proses desain dan cabang seni rupa
lainnya, karena banyak menjelaskan bagaimana persepsi visual bisa terbentuk.
Persepsi jenis ini bisa terbentuk karena:
- Kedekatan posisi (proximity)
- Kesamaan bentuk (similiarity)
- Penutupan bentuk (closure)
- Kesinambungan pola (continuity)
- Kesamaan arah gerak (common fate)
Faktor inilah yang menyebabkan kita sering bisa
merasakan keteraturan dari pola-pola yang sebenarnya acak. Misalnya saat
seseorang melihat awan, dia dengan mudah bisa menemukan bentuk muka seseorang.
Hal ini disebut pragnan.
Terbentuknya
perilaku dapat terjadi karena proses kematangan dan dari proses interaksi
dengan lingkungan. Cara yang kedua inilah yang paling besar pengaruhnya
terhadap perilaku manusia.
Terbentuknya
dan perubahan perilaku karena proses interaksi antara individu dengan
lingkungan ini melalui suatu proses yakni proses belajar. Oleh sebab itu,
perubahan perilaku dan proses belajar itu sangat erat kaitannya. Perubahan
perilaku merupakan hasil dari proses belajar.
3. Memory
Hasil persepsi terhadap obyek meninggalkan jejak ingatan. Dengan
berjalannya waktu, jejak ingatan ini akan berubah pula sejalan dengan prinsip-prinsip
organisasional terhadap obyek. Penerapan Prinsip of Good Form seringkali muncul
dan terbukti secara eksperimental. Secara sosial, fenomena ini juga menjelaskan
pengaruh gosip/rumor.
Fenomena gosip seringkali berbeda dengan fakta yang ada. Fakta
yang diterima sebagai suatu informasi oleh
seseorang kemudian diteruskan kepada orang lain dengan dengan dilengkapi
oleh informasi yang relevan walaupun belum menjadi fakta atau belum
diketahui faktanya.
Implikasi Gestalt
a. Pendekatan fenomenologis : menjadi salah satu pendekatan yang
eksis di psikologi dan dengan pendekatan ini para tokoh Gestalt menunjukkan
bahwa studi psikologi dapat mempelajari higher mental process, yang selama
ini dihindari karena abstrak, namun tetap dapat mempertahankan aspek ilmiah dan
empirisnya. Fenomenologi memainkan peran yang sangat penting dalam sejarah
psikologi. Heidegger adalah murid Edmund Husserl (1859-1938), pendiri
fenomenologi modern. Husserl adalah murid Carl Stumpf, salah seorang tokoh
psikologi eksperimental “baru” yang muncul di Jerman pada akhir pertengahan
abad XIX. Kohler dan Koffka bersama Wertheimer
yang mendirikan psikologi Gestalt adalah juga murid Stumpf, dan mereka menggunakan
fenomenologi sebagai metode untuk menganalisis gejala psikologis.
Fenomenologi adalah deskripsi tentang data yang berusaha memahami
dan bukan
menerangkan gejala-gejala. Fenomenologi kadang-kadang dipandang
sebagai suatu metode pelengkap untuk setiap ilmu pengetahuan, karena ilmu
pengetahuan mulai dengan mengamati apa yang dialami secara langsung.
b. Pandangan Gestalt menyempurnakan aliran behaviorisme: dengan
menyumbangkan ide untuk menggali proses belajar kognitif, berfokus pada higher
mental process. Adanya perceptual field diinterpretasikan menjadi lapangan
kognitif dimana prosesproses mental seperti persepsi, insight, dan problem
solving beroperasi. Tokoh: Tolman (dengan Teori Sign Learning) dan Kohler
(eksperimen menggunakan simpanse sebagai hewan coba).
Kritik
dan Kontribusi
Kritik yang disampaikan
pada Gestalt:
1. Terminology
yang digunakan cenderung “indiosyncratic” kepada sisrem
2. Sedikit
bukti empiris penelitian terhadap efektivitas terpi
Sedangkan
kontribusinya adalah dalam hal penekanan pada keseluruhan dan kesatuan
perilaku. Berkaitan dengan ini, adalah
penggunaan pentingnya perilaku non-verbal sebagai bagian integral sumber
pengetahuan terhadap individu.
3.
Penutup
3.1
Kesimpulan
Gestalt adalah sebuah teori yang menjelaskan proses
persepsi melalui pengorganisasian komponen-komponen sensasi yang memiliki
hubungan, pola, ataupun kemiripan menjadi kesatuan. Teori ini dibangun oleh
tiga orang, Kurt Koffka, Max Wertheimer, and Wolfgang Köhler.
3.2
Saran
Untuk konselor : jika menggunakan
teori gestalt dalam bimbingan untuk konseling, konselor harus memiliki hubungan
baik terlebih dahulu dengan konseling agar dalam proses bimbingan konseling ini
dapat perjalan lancar. Konselor juga harus mengerti setiap pribadi masing-masing
konseling.
Untuk konseling : konseling harus
memiliki rasa percaya pada konselor, bahwa konselor bisa mengatasi masalah yang
dihadapinya.