saya menulis untuk diri saya, dan apa yang pembaca baca adalah untuk pembaca. didalam tulisan saya, tidak merasa saya dan semua tulisan saya terkadang berisi tentang saya ^_^

Jumat, 05 Agustus 2016

AKU, GADIS MURAM, DAN HUJAN


Gadis itu, semenjak 2 tahun yang lalu ia selalu berdiri didekat area parkiran kampus Fakultas pendidikan berdiri dengan pandangan kosong yang dalam. Gadis itu selalu berdiri di bawah hujan.
Aku masih ingat 2 tahun lalu gadis itu selalu menyimpulkan kebahagiaan di tiap sudut bibirnya bersama dengan seorang laki-laki setahun lebih tua darinya. Gadis itu begitu energik dan penuh semangat, itu semua terlihat dari wajahnya yang merona kemerahan. Tapi beberapa bulan setelah itu simpul kebahagiaan berubah menjadi kemuraman yang entah kapan akan berakhir.
Hari itu sebelum kemuraman memeluk tubuhnya, dia bertengkar dengan seorang pria yang sering bersamanya tersebut. Gadis itu tidak mengatakan apapun dia hanya terdiam menahan amarah, menampar si pria kemudian berlalu dari hadapannya.
            “ aku sudah muak denganmu. Kamu gadis yang egois mementingkan kebahagiaanmu sendiri dan menjadi orang merasa paling menderita sendirian!” teriak si pria juga menahan amarahnya.Gadis tersebut berhenti, kemudian berbalik arah.
            “ yah, aku mungkin memang menjadi orang yang seperti kamu gambarkan. Tapi asal kamu tahu suatu saat nanti aku memang merasa menderita sendirian. Orang-orang yang begitu ku sayangi hanya menjadi duri dalam daging dan mengiris perih tanpa tahu rasa terimakasih. Termasuk kamu!” gadis itu pun berbalik arah dan pergi meninggalkan si pria.
            Yah.. itu adalah kenangan yang tak bisa kulupakan dari si gadis tersebut. Namun entah kenapa sigadis ini selalu berdiri tanpa berkata apapun, seperti mengingat sesuatu tapi tak sampai dia ingat mendadak merintih kesakitan di kepalanya.
***
            Untuk apa aku disini? Kenapa setiap kali hujan datang, aku selalu merasa ingin disini?apa yang terjadi disini hingga membuatku tak ingin beranjak. Apa dia masih mengingat tempat ini? Atau hanya aku saja yang terpaku menantinya.
            Begitu banyak pertanyaan dalam benakku hingga terkadang membuat buih di mulutku menumpuk, otakku menjadi kram dan akhirnya sakit itu datang. 2 Tahun lalu begitu menjadi memori terburuk yang ingin ku hapus saja bahkan nama mereka berdua tak perlu ku mengingat. Apa ini tandanya terlalu cinta sampai-sampai membuatku hampir amnesia. Mulai 2 tahun yang lalu setiap ingin mengingat sesuatu aku harus menuliskannya di buku harianku dan mataku yang sakit menjadi saksi bisu kecewa terhadapmu sementara hati yang mati adalah sejarah dimana kekecewaan yang kamu beri terlalu sempurna.
            Mengapa kamu menghukumku karena gadis yang biasa ku sebut sebagai – sahabatku – itu. Tahukah kamu dia mencuri senyum dan tawa yang biasa ku ukir dibibirmu. Aku tahu aku tidak punya hak untuk mengaturmu, tapi kedekatan kalian membuatku cemburu. Kamu harus tahu, gadis yang kusebut sebagai sahabat dulunya sekarang sudah bahagia. Aku hanya ingin kamu dan aku mengukir senyum berdua bersama tanpa adanya dia. Sementara penghianatan kalian begitu sempurna. Hanya demi dia, kamu berani membentakku kasar dan membuatku terasa tak berharga. Ketahuilah sayang, aku yang selalu terjaga disaat kamu sakit. Aku selalu jadi yang pertama disaat kamu merasa kesulitan. Kulakukan semua hanya demi memudahkanmu dan kau lakukan hal-hal untuk menyulitkanku. Argh.. biarkan Tuhan membuatku melupakan siapa kalian dan harapku agar Tuhan menjadi sesuatu yang adil untuk membalas sakit yang kurasakan hingga hari ini. Sakit yang membuat memori otakku menjadi lemah dan terganggu.
***
            Gadis muram ini begitu setia kepadaku. Gadis ini selalu menantiku ketika aku akan datang. Biasanya gadis ini bercengkrama dengan sahabatku si awan, dia menceritakan kalau dia merindukan pria yang begitu dia cintai, pria yang membuatnya mencintainya lebih dari apapun. Si awan selalu menyampaikan cerita gadis ini padaku. Aku tersenyum. Awan bilang gadis muram ini begitu menyukaiku, karena di setiap hujan selalu ada Ra dan In, entah apa maksud gadis muram ini. Saat hujan dia bilang selalu bersama pria yang dicintainya, menghabiskan waktu berdua menunggu hujan. Meski kadang kulihat pria ini tak begitu nyaman bersamanya,hanya saja pria ini menyayanginya sebatas sebagai sahabatnya. Namun si gadis muram ini mencintainya begitu besarnya.
            Hari itu aku spesial datang untuk gadis muram ini dan si pria yang dia cintai tersebut. Ah.. kecewanya aku, gadis itu tidak lagi mengukir senyum di wajahnya bercengkrama bersama pria itu. Mereka berdua malah bersitegang dengan kebenaran masing-masing. Aku semakin deras membanjiri mereka berharap percekcokan itu segera berakhir. Nyatanya tidak. Pria itu malah mengatakan sesuatu yang begitu menyakiti hati si gadis muram ini. Dia bilang gadis muram ini egois hanya memikirkan dirinya. Seandainya si pria itu tahu, gadis ini begitu polos mencintainya tanpa memikirkan apapun yang menyakitinya. Hai awan, hai surya bantu aku untuk pergi dari sini. Muncullah kalian agar aku tak berlama-lama melihat pemandangan menyakitkan ini. Gadis muram ini bisa hancur kalau terus seperti ini. Rasa sakitnya begitu terlihat dimatanya, meski aku terus mengucurkan air agar air matanya tak terlihat di hadapan pria yang dicintainya tersebut. Oh..gadis muram semoga kamu tetap ingat padaku dan tetap menyukaiku. Meski dibawahku lah kalian berpisah satu sama lain.
***
            Aku menjadi saksi bisu cerita si gadis muram ini, bagaimana tidak mereka selalu menghabiskan waktu di sini ditempatku tidak jauh berdiri. Aku tahu betul apa yang sering mereka bicarakan. Gadis muram itu dulu sering kusebut sebagai gadis periang yang diam-diam menyimpul senyum untuk pria yang dicintainya saat bercerita. Kadang mereka bercanda sambil bersitegang sebentar kemudian membahas cerita yang menarik bagi si pria.
            Yah mungkin ini memanglah takdirku yang selalu berdiri kokoh sebagai pohon besar di dekat parkiran fakultas pendidikan, gadis muram itu kini tetap muram menanti hujan, bercerita dengan awan dan terkadang matanya berkaca-kaca.
                                                                                   

Oleh : Inke